katanyanoi

Poems, fictions and sketches.

Category: ini (bukan) kisah nyata

Mengeja Hujan

Andrea memuja hujan lebih dari apapun. Dari gerimis yang hanya dilatari sepoi angin, sampai hujan yang membawa serta amukan badai.

Untuknya, hujan bukan sekadar titik-titik air belaka. Kepadanya, hujan bisa berkata-kata. Setiap tetes, pekat dengan kenangan.

Sedari kecil, dia bersahabat dengan hujan. Dengan senang hati, dia mengayuh sepeda mini merah menembus rinainya. Tidak perduli seragamnya basah kuyup, kaus kaki dan sepatunya penuh lumpur, bahkan serangan flu yang membuat dia harus beristirahat di rumah dua hari berturut-turut setelahnya. Meski sedang demam tinggi, diam-diam, dia membuka jendela dan mengulurkan tangannya, meraba tetes-tetes hujan yang jatuh di jemarinya.

Beranjak remaja, dia tidak perduli teriakan teman-temannya yang sibuk berlindung di halte bus saat hujan turun. Dia tetap berdiri tanpa terlindung, menengadahkan kepala, merentangkan tangan, tertawa.  Berteriak mengajak teman-temannya berdiri di sisinya. Dia tidak menunggu lama, mereka segera ikut tergelak bersamanya. Ikut menikmati hujan.

Hujan seakan memiliki peran penting dalam hidup Andrea, sebagai efek dramatis yang seakan sengaja diatur oleh semesta, sebagai media pengingat yang baik atas berbagai peristiwa yang dia lalui.

Dia bertemu kekasih pertamanya saat hujan deras. Sore, di pintu terminal kota, dia sedang menunggu angkutan umum yang akan membawanya pulang.

Saat itu, cahaya lampu-lampu mobil yang dibiaskan oleh hujan membawanya pada seraut wajah. Wajah yang dia kenal.

“Yudhis? Yudhistira?!” Teriaknya, berusaha menimpali derum mobil, klakson dan tentu saja, gemerisik hujan.

Si empunya wajah menoleh, mengernyitkan kening, lalu…

“Andrea?”

Hujan pada hari-hari sesudah hari itu, membawa serta kenangan sore yang mempertemukan dia dengan Yudhistira. Teman semasa kecil yang sudah bertahun-tahun berpisah, yang kemudian menjadi kekasih pertamanya.

Ciuman pertama Andrea juga dilatari hujan. Hujan yang luar biasa deras di siang hari bolong.

Ciuman dari  sang cinta pertama, Nico. Bukan Yudhistira. Kekasih pertama belum tentu sepaket dengan cinta pertama dalam hidup, bukankah begitu?

Nico adalah laki-laki tampan  yang menghisap habis perhatian Andrea dari pertama kali mereka bersitatap di koridor sekolah. Hanya dengan satu senyuman, Nico bisa membuat Andrea seakan memakai kacamata kuda. Hanya Nico yang ada di depannya. Hanya Nico yang terjangkau jarak pandangnya.

Ah, cinta masa muda.

Siang itu, mereka, Nico dan Andrea, baru saja pulang dari sekolah. Nico mengajak Andrea ke rumahnya. Mendung gelap yang menggelantung membuat Nico memacu motornya lebih cepat dari biasa. Tapi tetap saja hujan mendahului mereka.

Sampai di garasi, mereka sudah basah kuyup. Nico segera menarik tangan Andrea yang hendak merasakan hujan lebih lama. Dia kecewa. Tapi tidak lama.

Nico segera menukar hujan dengan ciuman. Andrea gelagapan. Siang itu, hujan seakan berubah menjadi beribu gula-gula empuk yang dituang dari langit, khusus untuknya.

Hujan pada hari-hari sesudah siang itu, membawa serta rasa manis  yang tidak bosan dia cecap di bibirnya dan kepakan sayap kupu-kupu di perutnya.

Hujan juga datang di malam pertama Andrea dan suaminya, Tristan, bukan Nico. Yah, cinta pertama tidak selalu berarti cinta terakhir, bukankah begitu?

Gerimis dengan angin sepoi yang mengetuk-ngetuk jendela kamar pengantin seakan menjadi simphoni, hadiah yang diaransemen khusus oleh semesta untuk Andrea malam itu.

Dia menatap wajah Tristan lekat-lekat. Laki-laki gagah yang dia pilih untuk menemaninya menghabiskan usia. Laki-laki yang membuatnya sudi menomor sekiankan dunia. Pada cintanya dia rela menghamba.

“Selamat malam, Nyonya Tristan.” Sebelum dia meringkuk manja, Tristan membisikkan kata-kata yang akan dia ingat sepanjang hidupnya.

Hujan pada hari-hari sesudahnya, membawa serta syahdu malam itu di telinganya. Menggema.

Demikian Andrea, mengisi  hujan dengan kenangan. Untuknya, hujan bukan limpahan air semata. Kepadanya, hujan bisa berkata-kata.

Dengan hati membuncah, Andrea mengeja setiap tetesnya.

Ada rintikan yang dipenuhi kayuhan kaki kecil pada pedal sepeda mini merah.

Ada rintikan yang dipenuhi gelak tawa teman-teman semasa remaja.

Ada rintikan yang dipenuhi bias cahaya yang menari di wajah Yudhistira.

Ada rintikan yang dipenuhi manisnya kecupan Nico.

Ada rintikan yang dipenuhi syahdu bisikan Tristan.

Rintikan yang pekat dengan kenangan.

***

Andrea menarik selimut  setinggi dada. Dia melangkah ke jendela, menatapi hamparan  cahaya yang merambat tanpa putus sampai ke langit. Kemudian dia gelisah. Mendung bergelayut menutupi bintang yang baru saja muncul. Hujan akan segera datang.

Untuk pertama kali dalam hidup, dia berharap: Jangan. Ada. Hujan.

Jangan…

Rengkuhan di pinggang membuat Andrea tersentak. Dia menoleh. Matanya menatap sosok laki-laki yang baru saja merengkuhnya. Menggenggam tangannya. Dia menarik napas dalam-dalam.

Aroma hutan randu.

Andrea membelai lengan laki-laki itu dengan ujung jemarinya.

Kulit selembut beledu.

Laki-laki itu mengecup punggung Andrea, beranjak ke bahu, kemudian leher, kelembutan bibirnya menciptakan getar yang hampir membuat dia tersengal.

Jantungku bertalu-talu.

Dia menenangkan degup jantungnya,  takut laki-laki itu bisa meraba denyutnya.

Seharusnya tidak seperti ini.

Mendung semakin hitam. Tenggorokannya tercekat.

Demi apapun!!!

Andrea menengok, dipandangnya lekat-lekat wajah lelaki itu.

“Aku harus pulang.” Bisiknya, lirih.

Dia memutar badan. Melepaskan pelukan. Setengah berlari melepaskan selimut yang membalut tubuhnya. Tergesa memunguti pakaian yang bertebaran di lantai marmer.

Dingin. Semua terasa dingin.

Dari sudut mata, dia melihat bibir laki-laki itu bergerak-gerak. Tapi dia tidak mendengar apapun.

Udara seketika beku.

Andrea cepat-cepat memakai pakaiannya. Saat kemeja putihnya belum terkancing sempurna, tangannya sudah lebih dulu meraih kenop pintu. Dia ingin sesegera mungkin keluar dari kamar yang mendadak sesak, membuatnya sulit bernapas. Tapi, laki-laki itu melangkah cepat, memecah kebekuan yang diciptakan Andrea,  sekali lagi merengkuhnya dalam pelukan.

“Aku nggak tahu kapan lagi bisa memelukmu, Andrea.”

Aroma hutan randu merebak memenuhi peparunya.

Jangan bernapas, Andrea!

Kulit selembut beledu teraba lengannya.

Jangan menyentuhnya, Andrea!

Jantung yang bertalu-talu hingga degupnya terasa.

Tenanglah, berengsek!

Tanpa kata-kata, dia membalas pelukan laki-laki itu dengan setengah hati, dia ingin segera angkat kaki.

Laki-laki itu akhirnya melepaskan peluk, membukakan pintu untuk Andrea, dan menutupnya setelah tersenyum padanya. Senyum yang terekam abadi di balik kelopak matanya. Tanpa dia inginkan.

Seiring dengan suara klik dari kenop pintu, telinga Andrea menangkap denting yang beradu dengan lantai marmer.

Ada yang pecah berserakan.

Hatinya sendiri.

Tapi dia tidak perduli. Tidak cukup waktu untuk perduli.

Dia bergegas memasuki elevator.

Jangan turun dulu hujan, jangan.

Dia bergegas  menuju lobi. Seketika langkahnya terhenti. Di luar, tetesan pertama hujan sudah jatuh di atas kanopi.

Terlambat.

Andrea melangkah, tidak lagi tergesa.

Dia menengadah. Hujan menyapa ujung hidungnya.

Aroma hutan randu.

Dia membiarkan hujan menari di setiap peporinya.

Kulit selembut beledu.

Dia mencoba bernapas. Mengalirkan udara.

Jantungku tidak juga berhenti bertalu-talu.

Dia melangkah gontai. Kenangan sudah terlanjur melebur dalam setiap rintik hujan senja itu.

Dia tahu, hujan pada hari-hari sesudahnya, akan membawa satu nama.

Ezra.

Laki-laki itu. Laki-laki yang entah.

Laki-laki yang kelak akan mengingatkan dia akan satu kesalahan yang sempurna.

Yang juga akan dia eja dalam hujan.

Yang seharusnya bukan siapa-siapa.

Semoga aku tidak lantas tenggelam dalam kenangan.

***

Living Room

10:04 PM

The rain just stopped.

Menunggu Jawaban

Namanya Jaka.

Pengusaha yang juga penjudi muda.

Ayah Jaka, Sultan, adalah  seorang pedagang kaya yang terkenal akan kedermawanan dan kesantunannya .

Jaka punya istri, namanya Nirmala.

Wajahnya cantik dengan tubuh menggoda.

Suatu malam Jaka kalah taruhan.

Semua harta disita, rumah dikosongkan.

Jaka yang tidak terima, babak belur dihajar anak buah sang bandar.

Nirmala pun tak luput dari mata-mata liar dan tangan-tangan kasar.

Usai merampas semua harta, Nirmala mereka perkosa.

Jaka mengerang di sudut ruang, kepayahan menyeka darah yang keluar dari luka menganga.

Jeritan Nirmala menggema di telinga.

Jaka terlalu lemah, tidak mampu berbuat apa-apa.

Sultan, sang ayah, yang baru saja mendapat kabar,  menangis meraung-raung setelah mendengar berita.

“Anakku dipukuli dan istrinya digagahi. Tuhan, Tuhan, kenapa Kau tidak melindungi?”

♛♛♛♛♛

Namanya Menur.

Seorang gadis manis dari desa. Untuk mengejar cita-cita, dia dikirim ke kota.

Sekarang Menur sudah di Jakarta. Kuliah semester akhir, tinggal menggarap skripsi kemudian wisuda.

Setelah wisuda, Menur ingin bekerja di belakang meja. Dalam salah satu gedung yang menjulang nyaris menyentuh angkasa.

Ayah dan ibu Menur adalah petani yang tidak punya ladang. Hidup mereka tidak lebih dari gali-tutup lubang.

Tanpa lelah, mereka bekerja. Melewati hari demi hari dengan sangat bersahaja.

Semua demi Menur dan masa depan.

Tak mereka rasa, lelah yang menggelayuti badan.

Tak apa, asal Menur bisa lanjut kuliah.

Dengan segala cara, mereka membiayai hidup Menur di kota, berdoa agar Menur segera mengantongi ijazah.

Dan Menur pun demikian.

Belajar seperti kesetanan.

Agar segera diwisuda. Agar segera bekerja di belakang meja. Dalam salah satu gedung yang menjulang nyaris menyentuh angkasa.

Untungnya, Menur pandai. Kuliahnya cepat selesai.

Tinggal mengerjakan skripsi, bab akhir.

Semua lancar, sampai sore itu, Menur bagai tersambar petir.

Kamar kostnya berantakan. Semua perabot berserakan.

Menur menghela napas panjang. Laptop pinjaman yang menyimpan seluruh data skripsinya hilang.

Menur bersandar di balik pintu.

Tangannya menjambak rambut, terbayang olehnya segala harga yang sudah ia dan orang tuanya bayar, air matanya menetes satu-satu, kemudian ia berbisik sendu.

“Kenapa, Tuhan? Aku tinggal selangkah dari tujuan. Kenapa tidak Kau lancarkan?”

♛♛♛♛♛

Namanya Nilam.

Dia baby sitter yang bekerja pada seorang ibu muda yang bernama Lani.

Lani memiliki anak, namanya Linka.

Baru ulang tahun yang kedua.

Suami Lani? Minggat dengan perempuan blasteran Korea.

Untuk melupakan kesedihan, Lani sering berpesta.

Dansa, Whiski dan Vodka. Sudah biasa.

Lani tidak pernah ada untuk anaknya.

Itulah yang membuat Nilam menyayangi Linka seperti anak sendiri.

Menemani tidur, makan, main dan mandi.

Suatu hari, Linka sakit, demam sangat tinggi.

Nilam menelepon Lani yang belum pulang meski sudah dini hari.

Ponsel Lani mati. Tidak bisa dihubungi.

Nilam panik karena Linka mulai menggigil.

Dia menggendong Linka erat-erat lalu terburu-baru masuk ke mobil.

Tanpa Lani, mereka pergi ke rumah sakit.

Di ranjang ICU, Linka kemudian terbaring dengan selang-selang yang membelit.

Tersedu-sedu, Nilam mengetuk kaca pembatas ruang tunggu.

Berharap Linka mendengar, membuka mata, lalu merengek meminta Nilam menyanyikan sebuah lagu.

Nilam menggenggam ponselnya, berharap ada balasan pesan dari Lani.

Tapi tidak ada, Lani masih tidak bisa dihubungi.

Lirih, Nilam mendesis. Bibirnya bergetar di sela tangis.

“Tuhan, anak ini tidak ber-ayah dan nyaris tidak ber-ibu. Apakah membuat tubuhnya kaku, juga salah satu dari kehendakMu? Atau hanya semata bentuk kemarahanMu?”

♛♛♛♛♛

Namanya Muchtar.

Laki-laki setengah tua. Setahun lalu kalah dalam Pilkada.

Padahal untuk dana kampanye sudah habis tanah, rumah dan sawah.

Sang istri yang tidak kuat miskin pun minggat.

Meninggalkan Muchtar sendiri dalam belitan hutang yang sudah jauh melewati tenggat.

Niat Muchtar tulus. Ingin membangun desanya dengan serius.

Tapi apa daya. Muchtar dikalahkan oleh lawannya, seorang rentenir yang kaya raya. Politik uang masih menjadi raja.

Kini Muchtar gila. Berkeliling kampung dengan telanjang dada.

Berteriak-teriak terus sampai nyaris hilang suara.

“Tuhan, kenapa kau tak menakdirkan mereka memilihku? Tuhan, Kenapa kau tidak membantu?”

♛♛♛♛♛

Hey God, tell me what the hell is going on!
Seems like all the good shits gone.
It keeps on getting harder hangin’ on.
Hey God, there’s nights you know I want to scream.
These days you’ve even harder to believe.
I know how busy you must be, but Hey God…
Do you ever think about me?

Ah, Tuhan.

Apakah benar Ia memiliki rencana atau hanya sekedar senang membiarkan manusia menunggu jawaban?

♛♛♛♛♛

Interprestasi dari: Hey God – Bon Jovi

Menarilah Untukku

Di sana dia duduk. Di meja barisan depan dengan bibir tertekuk.

Malam yang hingar bingar di Kelab ini tidak membuat dia bergairah.

Sorot matanya jelas menggambarkan jiwa yang lelah.

Jägermeister sudah sloki ketiga, mengalir menghangatkan tenggorokannya.

Entah butuh berapa sloki lagi hingga hangat itu mencapai hatinya.

Namanya Ray. Laki-laki muda yang sedang bingung menghadapi arus hidup yang membawanya terlalu jauh dari tujuan yang dia inginkan.

Wajahnya yang persegi, ditumbuhi cambang-cambang yang tercukur rapih di sepanjang pipi sampai dagu, rambutnya yang ikal kecoklatan dia biarkan tumbuh menyentuh kerah dan sorot mata yang dalam tapi kelam, membuat siapapun yang melihatnya selintas akan kembali menoleh, menatapnya untuk yang kesekian.

Mata dalam yang kelam itu menatap lurus ke panggung yang mendadak gelap, sejenak.

Tidak sampai hitungan kelima, cahaya dari lampu sorot warna-warni menyirami panggung seiring musik yang makin menghentak.

Ah, rupanya sudah tiba saat para penari meliak-liuk memancing decak.

♛♛♛♛♛

Di sana ia berdiri. Di hadapan cermin di ruang ganti.

Di tengah-tengah gelantungan kostum warna-warni.

Ia memoleskan gincu merah ceri. Kemudian  merapihkan posisi kedua payudara dalam dekapan bikini.

Namanya Raven. Nama panggung.

Disesuaikan dengan rambut hitamnya yang panjang sepunggung.

Belum saatnya dia tampil.

Raven adalah primadona panggung, ditampilkan paling akhir,  untuk memancing sebanyak-banyaknya rupiah dari para pengunjung kelab, ialah umpan sekaligus kail.

Ia menunggu sambil menghembuskan asap rokok putih. Sambil berpikir, tarian seperti apa yang harus dia tampilkan demi membuat banyak mata menagih untuk meminta lebih.

“Raven, giliranmu!”

Pintu diketuk.

Ia mematikan rokok,  meraih bando berbentuk telinga kucing, perannya malam ini adalah Cat Woman yang tentu saja, tidak mudah takluk.

♛♛♛♛♛

Sudah setengah lusin gadis-gadis muda meliuk menggeliat di atas panggung.

Ray masih tetap termenung.

Hampir dia menguap karena bosan.

Bosan dengan rambut-rambut panjang yang dicat warna-warni. Bosan dengan wajah yang dirias dengan ketebalan bedak tiga senti.

Bosan dengan tarian tanpa keindahan. Yang mereka tampilkan barusan tidak lebih dari geliatan.

Hampir saja Ray berdiri, pulang, bosan.

Tapi telinganya lebih dulu menangkap suara sang disjoki yang meneriakkan nama Raven Sang Primadona.

Ia berpikir, tidak ada ruginya menatap sekali lagi ke arah panggung, melihat sejauh mana sang primadona bisa menghibur mata.

Dan di sana lah Raven berdiri, di tengah-tengah siraman lampu sorot warna-warni.

Setengah telanjang. Memamerkan kulit yang serupa gading dan sepasang kaki jenjang.

Raven mulai menari. Lembut bagai bidadari.

Ray tertarik. Tidak berkedip dia sedari tadi, nalurinya tergelitik.

Raven masih menari. Sekarang lincah bagai peri.

Lalu merangkak bagai macan betina mencari mangsa. Mendekat ke bibir panggung dengan leluasa.

Mendekati Ray tanpa sengaja.

Raven menyibak rambut hitamnya yang nyaris menutupi mata dengan satu sentakan pada kepala.

Sepasang mata abu-abunya menatap mata Ray.

Seluruh panca indera Ray mendadak kelu.

Semesta kecil milik Ray tiba-tiba tidak berwaktu.

♛♛♛♛♛

Sejak malam itu, Ray menjadi pengunjung tetap.

Setiap matanya menangkap gemulai gerak Raven, hatinya berhenti meratap.

Perasaan kelam yang selalu dia bawa serta, segera berubah menjadi perasaan lain yang sebelumnya tidak pernah ada.

Ada percikan api yang membakar mata setiap dia melihat Raven berayun dari satu pelukan ke lain pelukan, ada letupan kecil di dada.

Ray cemburu.

Dia ingin menarik tangan Raven menjauh dari para pemilik napas memburu.

Dia ingin meneriakkan isi hatinya pada Raven. Bahwa dia jatuh cinta saat jumpa pertama. Bahwa dia tidak akan merendahkan walau mereka menganggap Raven jalang betina. Ia ingin sendirian memiliki Raven. Menghapus gincu merah ceri dari bibir Raven. Dia ingin menunjukkan pada Raven kehidupan yang lebih baik.  Meski dia sadar bahwa hidupnya sendiri belum sempurna teracik.
Tapi Raven masih menari. Diantara siraman lampu warna-warni. Memanjakan puluhan tatapan mata yang menyorotkan birahi.

♛♛♛♛♛

“Ah, dia datang lagi. Sudah dua minggu berturut-turut.” Raven berbisik dari balik panggung.

Menatap Ray dengan canggung.

Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

Raven dari malam ke malam, selalu menganggap para pengunjung tidak lebih dari botol.

Botol-botol yang minta dikosongkan setelah itu membayar dengan berlembar-lembar uang dan segaris senyuman tolol.

Tapi tidak Ray. Ada yang berbeda dari caranya menatap Raven.

Membuat ia jengah, sekaligus merasakan kenyamanan yang janggal.

Kenyamanan yang dulu sekali pernah ia kenal.

Dulu sekali. Saat ia masih menjadi seorang istri.

Dulu sekali. Saat ia terlena dan menggantungkan diri kepada suami.

Suami yang memberinya dua orang putri.

Suami yang mendadak mati.

Meninggalkan tumpukan hutang yang harus ia lunasi, sendiri.

Raven menarik napas panjang.

Menenangkan hatinya dari serbuan ingatan pahit yang mendadak membentang.

Segera ia mematikan hati. Demi untuk tidak terjebak pada lubang bernama kenyamanan untuk kedua kali.

Ia tidak butuh tenang. Ia butuh uang.

♛♛♛♛♛

Ray menepuk sakunya sekali lagi.

Hanya untuk  sekedar meyakinkan diri.

Di dalamnya tersimpan segepok uang.

Ray menarik napas panjang.

Malam ini ia akan berhadapan dengan sang pujaan hati.

Yang menjadi Ratu di dalam mimpi.

Malam ini dia akan berhadapan dengan Raven, tanpa garis batas antara kursi dan panggung.

Bibir Ray perlahan membentuk garis lengkung.

Pintu di hadapannya terbuka.

Raven sudah tiba.

Ia melangkah masuk, menghampiri Ray, sambil membuka satu persatu kancing baju, siap memuaskan dahaga.

Mata Ray berbinar ceria.

Mencondongkan tubuhnya kedepan, menatap mata Raven tanpa kedip, tanpa jeda.

Kemudian Ray berkata;

“Duduklah, Sayangku. Aku ingin bicara.”

Dia ingin meneriakkan isi hatinya pada Raven. Bahwa dia jatuh cinta saat jumpa pertama. Bahwa dia tidak akan merendahkan walau mereka menganggap Raven jalang betina. Ia ingin sendirian memiliki Raven. Menghapus gincu merah ceri dari bibir Raven. Dia ingin menunjukkan pada Raven kehidupan yang lebih baik.  Meski dia sadar bahwa hidupnya sendiri belum sempurna teracik.

♛♛♛♛♛

Cerpen #1

ditulis untuk #30HariLagukuBercerita

Interprestasi dari Roxanne – The Police

Paralel

Words are flowing out like
Endless rain into a paper cup
They slither wildly as they slip away across the universe.
Pools of sorrow waves of joy
Are drifting through my opened mind
Possessing and caressing me.

Di hadapan cermin, Winona melepaskan jepit-jepit yang menyangga sanggul sederhana di kepalanya.

Dia melirik Re yang berdiri di sampingnya.

Re melepas peci putih yang sudah lebih dua jam dia kenakan di kepalanya.

Dia melirik Winona yang berdiri di sampingnya.

“Kenapa senyum-senyum?”

“Elo yang senyum duluan, No. Kalau gak disenyumin balik, ngambek…”

Winona melempar jepit rambut yang dia pegang. Tepat mendarat di hidung Re.

Re meraih selembar amplop berwarna nila yang tergeletak di meja. Ingin membalas lemparan Winona.

“Reeee…itu undangan kita. Mau gue masukin album. Nanti lecek tau!”

“Sori, sori.”

Re masih menggenggam amplop berwarna nila. Mengeluarkan isinya. Hanya berupa selembar art paper juga berwarna nila. Di permukaannya tertulis:

Pernikahan Putra-Putri Tercinta

Re Dengan Winona

Sabtu 15 September 2008, Pukul 11.00 WIB

Rumah Kebun

Jakarta Timur

Re tersenyum, meletakkan perlahan undangan pernikahannya di atas meja.

Menghampiri Winona yang masih sibuk melepaskan jepit-jepit rambut dari kepalanya.

Dia memeluk Winona dari belakang.

“Akhirnya, No.”

Winona tersenyum. Menggenggam tangan Re.

“Inget gak, Re? Sepuluh tahun yang lalu elo ngajakin gue balikan?”

“Ya inget, lah. Di kamar ini juga, kan?”

“Iya, itu kenapa, gue mau kamar ini jadi kamar pengantin kita.”

“Banyak sekali yang terjadi setelah hari itu ya, No?”

“Banyak, Re. Gue masih ingat semuanya.”

Re mengeratkan pelukannya.

Winona mengeratkan genggamannya.

Mereka berdua berenang di dalam kolase kenangan yang mereka susun sendiri.

Jai Guru Deva. Om
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world

♛♛♛♛♛

SMU 1001. Awal Januari 1997.

Winona dengan seragam putih-abu abu. Sedang menghapus papan tulis di kelasnya.

Ekor matanya menangkap sosok yang sedang melewati koridor.

Winona menoleh. Memperhatikan. Kemudian ternganga.

Tinggi, tampan, dengan rambut lurus yang nyaris menutupi telinga, hampir menyentuh kerah. Terbayang olehnya tokoh Therius dalam komik Candy Candy. Komik Jepang favoritnya.

Penghapus papan dia lempar begitu saja. Dia berlari menuju pintu. Berharap kalau sosok Therius tadi belum menghilang.

“Siapa dia?”

Bisik Winona.

Sambil matanya terus mengikuti sosok yang menghilang di balik pintu kelas 1-3. Selisih 5 pintu dari kelas Winona di 1-9.

SMU 1001. Awal Februari 1997

Re dengan seragam putih abu-abu. Baru saja selesai jam olahraga. Sedang berjalan di koridor depan kelas Winona. Bersama empat temannya.

“Re, ini nih kelasnya si ituuu, si keriting ituuu.”

“Iya, nih Re. Ciyeee, ciyeee.”

Mereka mendorong-dorong Re.

“Berisik lo pada ah, resek!”

Re memukul pelan bahu salah satu temannya.

Mereka tertawa. Terus berjalan.

Re memperlambat langkahnya. Diam-diam penasaran dengan Winona, si keriting, perempuan yang berkali-kali menitipkan salam lewat teman-teman sekelasnya,.

Teman-temannya sekarang berada selangkah di depan.

“Okay. Ini saatnya! Seengga-engganya gue harus tau di mana dia duduk.” Re menggumam.

Re sampai di ujung pintu kelas Winona yang terbuka. Ketika ia pikir keadaan sudah aman, Re menoleh pelan.

Tepat saat Winona melirik. Mata mereka beradu.
Re tersenyum kecil. Lalu menyusul teman-temannya.

Dia tidak sempat melihat balasan senyum Winona. Apalagi melihat teman sebangku Winona yang menendang pelan kaki Winona sambil tertawa kecil.

Plaza Biru. Pertengahan Februari 1997

Winona menunggu Damar, Nararya dan Bastian, teman-temannya yang sedang mengantri tiket.

Dia bersandar di railling lobi bioskop sambil mengamati poster-poster film.

“Hei, No. Ngapain?”

Tepukan di bahu. Suara yang familiar.

Winona tersentak. Lalu menoleh.

Re berdiri di sampingnya. Kemeja flanel, jeans dan sepatu converse.

Winona menelan ludah, ia menatap lurus ke sandal jepit kuning yang dia pakai, naik terus ke celana cordurai cokelat yg dia potong paksa selutut dan T-shirt Jurrasic Park yang sudah belel.

Kemudian menatap Re, yang menunggu jawabannya.

“Nonton, lah. Sama anak-anak. Tuh masih pada ngantri. Lo nonton juga?”

“Enggak. Gue abis ngegame. Abis ini mau makan di bawah.”

“Oooh.”

Hening sejenak

“Okay, gue cabut dulu, ya.”

Winona mengangguk.

Melambaikan tangannya pada Re yang menuruni tangga, lalu menghampiri teman-temannya yang masih mengantri, sambil memaki di dalam hati.

“Mampus gue. Kenapa pas lagi ngegembel gini, gue malah ketemu Re? Aaaarrgh.”

Rumah Winona. Awal Maret 1997

Selembar kertas di tangan winona sudah kusut. Nomor telepon Re tertera di sana.

Sebenarnya, sejak di sekolah tadi, nomor itu sudah dia hapal di luar kepala.

Entah sudah berapa kali Winona mondar-mandir di depan telepon.

Menggigit bibir. Mengacak-ngacak rambut. Memilin-milin kaos yang dia pakai.

“Ah, sebodo lah!”

Mengalahkan segala kecemasannya, Winona mengangkat gagang telepon, memencet tujuh tombol.

Nada tunggu satu, nada tunggu dua,

“Halo”

“Halo, selamat siang. Re-nya ada?”

“Re? Lagi basket. Dari siapa ini?”

“Winona”

“Nanti sore telepon lagi, ya!”

Telepon ditutup.

Winona mengacak-acak rambut.

SMU 1001. Kantin. (Masih) Awal Maret 1997

Jam istirahat. Kantin empat-empatnya penuh. Terlihat seperti belantara putih-abu abu. Ramai.

Re dan teman-temannya berkumpul di kantin keempat. Paling ujung.

“Psst, Re, hoy, tuh liat tuh, siapa tuh yang baru dateng.”

Re melirik ke arah yang baru saja ditunjukkan temannya.

Winona, baru saja masuk ke kantin kedua.

“Ciyeee, Re, ciyeeeee.”

“Jangan kenceng-kenceng dong. Tuh, nengok kan anaknya.”

Re mengomel. Teman-temannya malah lebih semangat menggoda. Apalagi saat mereka tahu, Winona melirik ke arah mereka.

“Aaaah, udah ah. Cabut! Balik ke kelas!”

Re berdiri, berjalan meninggalkan kantin, berharap teman-temannya mengikuti. Dia tidak mau Winona merasa terganggu dan malu.

Berhasil. Teman-temannya mengekor di belakang Re. Tidak lagi menggoda.

Setelah tiba di koridor, Re tiba-tiba berhenti.

“Anjrot! Gue lupa bayar minum. Duluan gih lo pada.”

Tanpa menunggu respon teman-temannya, Re balik kanan, berlari kecil menuju kantin.

“Semoga anak itu masih di sana.” Harapnya.

Dan ya, Winona masih di tempat yang sama.

Re menghampiri Winona, yang sedang mengunyah bakwan.

“Hai, No.”

“Hai…”

“Elo kalo telepon gue, agak sorean ya. Gue kalau sore di rumah, kok. Okay? Gue balik ke kelas, ya.”

Re meninggalkan Winona yang masih memegang separuh bakwan di tangannya. Yang belum berkata apa-apa.

Dia tidak mau Winona mendengar detak jantungnya yang mendadak berdegup lebih kencang.

Sejak hari itu, mereka, Re dan Winona menjadi dekat.

Depan SMU 1001. Desember 1997.

Re berjongkok beberapa meter di belakang Winona, yang sedang menunggu angkutan umum bersama teman-temannya.

Kemarin siang, dia menerima surat dari Winona. Isinya, pernyataan kalau Winona menyukainya dan memintanya menjadi pacar.

Re meminta tolong temannya untuk memanggil Winona.

Tidak sampai semenit, Winona berdiri di depan Re.

“Apa, Re?”

“Elo, nembak gue?”

Winona mengangguk.

“Elo kan tau gue suka bolos, ngerokok pula. Elo masih mau jadi cewek gue?”

Di luar dugaan Re, Winona tiba-tiba berjongkok, di sebelahnya.

“Kenapa engga?”

“Elo juga ga bisa ngatasin kenakalan gue, kan?”

Winona menatap Re lurus. Hampir membuat Re tergeragap.

“Elo ga pernah ngasih gue kesempatan.”

Winona menyahut pelan.

“Gue gak mau ngecewain elo belakangan. Kita gak cocok.”

“Gak bisa dicocok-cocokin?”

Sahut Winona lagi, kali ini sambil menggaruk kepala, menatap jalan raya di depan mereka.

Re tidak bisa menahan senyumnya.

“Elo mau coba?”

“Iya. Gue mau coba!”

Kali ini, Winona kembali menatap Re, dalam.

Re mengacak-acak rambut. Diam-diam bersyukur atas kekeraskepalaan Winona.

“Ya udah. Kita coba.”

“”Oh iya, No. Elo gue telepon semalem, engga ada yang angkat.”

“Oooh…”

“Okay, gue balik.”

Re berdiri, menyetop angkot yang melintas. Meninggalkan Winona.

Dia melihat Winona melambaikan tangan. Sedikit ragu-ragu.

“Payah. Gue keduluan.”

Bisik Re, lalu tersenyum sendiri.

Kamar Winona. Akhir Mei 1998.

Winona berdiri di depan jendela kamarnya. Matanya sembab.

Karpet yang terbentang di tengah-tengah kamar penuh dengan lembaran-lembaran catatan hariannya.

Kemarin, Re menyudahi hubungan mereka. Dia bilang, Winona terlalu banyak menuntut.

Padahal yang Winona minta, hanya sedikit perhatian.

Re terlalu sibuk dengan teman-teman baru dan sepeda motor yang dia modifikasi sedemikian rupa untuk kebut-kebutan.

Re bilang, Winona sudah cukup mendapat perhatian dari sahabat-sahabat laki-lakinya. Belum lagi sahabat-sahabat perempuan.

Re juga bilang, jumlah total sahabat Winona yang lebih dari selusin itu sudah cukup untuk menghujani winona dengan perhatian. Hingga tidak perlu lagi Re menambahkan.

Hati Winona patah. Menangis dia semalaman. Tidak tidur karena sibuk membaca catatan-catatan harian penuh dengan nama Re yang rencananya akan dia masukkan dalam kardus lalu disimpan di gudang. Tidak tidur karena mengingat pelukan-pelukan Re. Mengingat saat Winona sakit dan tidak masuk sekolah, Re datang ke rumah. Menjaga Winona. Membiarkan Winona tidur di pangkuannya. Mengingat saat mereka pulang dari sekolah, hujan-hujanan, tertawa di sepanjang jalan. Mengingat ciuman di pipi. Mengingat saat Re mencuri ciuman pertama di bibir Winona, yang langsung mereka ulangi, lagi dan lagi.

Mengingat saat Re yang mencoba jaket racing yang baru dibeli, kemudian pura-pura mewawancarai Winona, “Bagaimana kesan-kesan anda menjadi istri pembalap?”

Winona menarik nafas panjang. Dia ingin tidur sebentar.

PANTAI Cottege. Awal Juni 1998.

Re duduk di pasir. Menatap laut di depannya. Matahari hampir terbenam.

Seharian ini, yang dia pikirkan cuma Winona.

Rambut keriting Winona yang sering acak-acakan, gaya bicara Winona yang ceplas-ceplos. Winona yang tidak bisa bersikap manis, apalagi romantis. Winona yang keberadaannya selalu mencolok mata karena tingkahnya yang tidak bisa diam. Winona yang mudah menarik perhatian. Semua itu pernah Re keluhkan. Tapi sekarang berbalik. Re merindukan.

Apakah sudah benar keputusannya untuk menyudahi hubungan? Bagaimana jika Winona tidak mau berbicara lagi dengannya? Bagaimana jika Winona menemukan orang lain? Re resah. Dia tahu Winona cepat jatuh cinta.

Matahari sudah benar-benar tenggelam. Sayup, Re mendengar Ibunya memanggil.

Re ingin cepat pulang. Dia ingin menelepon Winona.

Rumah Re. (Masih) Awal Juni 1998

“Halo. Wino?”

“Re?”

Mereka berbicara lebih dari dua jam.

Tidak ada yang berubah. Semua malah terasa lebih menyenangkan.

Kamar Re. 15 September 1998.

Winona masih terbengong-bengong. Duduk di kursi yang bisa berputar, di kamar Re. Menunggu Re yang sedang membuatkan teh di dapur.

Dia tidak menyangka, Re memintanya ke rumah.

Hari ini ulang tahun Re.

Winona sudah menyiapkan hadiah, sebuah puisi yang dia tulis sendiri. Menghiasnya sedemikian rupa selama dua hari, dengan bantuan sahabat-sahabatnya.

Rencananya hadiah itu akan dia serahkan di sekolah.

Rencana berubah, saat bel berbunyi, Re sudah di depan kelas, menunggunya, mengajaknya ke rumah.

Lamunan Winona buyar. Re masuk ke kamar. Membawa segelas teh.

Serta merta, Winona menyodorkan hadiah yang tidak dia bungkus.

Re tersenyum. Menerimanya, duduk di tempat tidur, membaca puisi Winona.

Ada hening yang cukup lama.

Winona memilih untuk tetap duduk di kursi, sambil berputar-putar.

“No, balikan, yuk. Lo mau, gak?”

Winona hampir terjatuh. Terkejut mendengar kata-kata Re.

“Serius lo?”

“Serius gue. Mau, gak?”

Re berdiri, menghampiri Winona. Menyandarkan lengannya di sandaran kursi, nyaris menyentuh bahu Winona.

Jantung Winona berdebar tidak karuan. Dia tidak berani membalikkan badan.

“Lo sengaja milih hari ini supaya gue gak bisa nolak, kan?”

“Cerewet! Mau gak?”

Winona menengadah, matanya bertatapan langsung dengan mata Re.

“Mau.”

“Yesss!”

Re memeluk Winona, dari balik sandaran kursi.

“Re. Gue. Gak. Bisa. Napas. Bego!”

“Waaah. Sorii…soriii.”

Re tertawa lepas. Winona tersenyum lega.

Rumah Re. Desember 1998.

Badan Winona gemetar.

Di depannya duduk orang tua Re.

Mereka menunggu Re pulang.

Di atas meja tergeletak tiga buah spuit bekas pakai, sendok yang melengkung tidak wajar dan beberapa helai kertas kecil lusuh, penuh guratan bekas lipatan.

Inikah alasan perubahan drastis dalam diri Re belakangan ini? Inikah sebab dari puluhan alpa yang tertera di absensi Re? Inikan alasan Re sering tertidur di kelas? Tidak lagi bisa diajak bicara tanpa berakhir dengan pertengkaran?

Re, entah sejak kapan, menggunakan putau.

Winona masih gemetar. Di kepalanya berjajar banyak sekali pertanyaan.

Rumah Re. Desember 1998.

Re memarkir motornya di garasi.

Kemudian membuka pintu ruang tamu.

Dia terkejut melihat kedua orang tuanya dan Winona sedang duduk berhadapan.

Dia terkesiap melihat barang-barang miliknya yang selama ini tersimpan di laci lemari kini tersusun berderet di atas meja.

Re menutupi kepanikannya dengan membuang muka. Langsung masuk ke kamar. Tanpa menyapa.

“RE!”

Ayah Re meradang.

Diraihnya gagang pintu kamar Re. Terkunci. Kalap, ayah Re membabibuta menggedor pintu.

Pintu terbuka.

“Re, papa, mama, mau bicara.”

“Enggak selama Wino masih di sini.”

“Jangan membantah, Re!”
Ibu Re menyusul masuk ke kamar.

Winona berdiri, memakai sepatunya, lalu pergi.

“Winona gak perlu tau tentang ini!”

Kata yang terakhir  terdengar dari Re sebelum Winona menutup pintu rumah.

Ruang Guru. Januari 1999.

“Kamu tau masalahnya Re, Wino?”

Bu Tya, wali kelas Re, bertanya lembut.

Winona mengangguk.

“Bisa bantu kami untuk menyelesaikan masalah Re?”

Lagi, Winona mengangguk.

“Kamu aneh, Wino. Untuk apa kamu jadi pacar pecandu narkoba? Kalau gak hati-hati, kamu bisa kebawa!”

Bu Sulis, guru BP, mendadak ikut bicara.

Winona diam. Menunduk. Menggigit bibirnya kuat-kuat.

Bilik di balik warung nasi. Depan SMU 1001. Januari 1999.

Re bernapas lega. Akhirnya dia bisa lepas dari pengawasan Winona.

Dia membagikan bungkusan kecil berisi putau kepada teman-temannya.

Mereka duduk membentuk lingkaran. Berdesakan di antara tumpukan kardus dan botol-botol air mineral.

Baru saja Re meraih spuit, setelah ia mengikatkan sabuk di lengan kiri.

Pintu di depannya tiba-tiba terbuka lebar. Dia dan beberapa temannya sontak mendongak.

Winona.

Re terkejut.

Mata Winona menghunjam langsung ke matanya. Tatapan Winona dingin.

Tanpa berpikir, Re melempar spuit ke lantai.

Berdiri, setengah berlari. Menghampiri Winona yang sudah membalikkan badan.

Susah payah Re melepas ikatan sabuk di lengannya, sambil mengejar Winona.

“No, tunggu!”

Re meraih lengan Winona.

“Lepasin, Re!”

Re mencoba merengkuh Winona.

Winona mendorongnya pelan.

“Lepasin tangan gue, Re. Gue harus cabut. Anak-anak sudah nunggu.”

Winona menggedikkan dagu ke arah Damar, Nararya dan teman-temannya yang lain, di seberang jalan.

Mereka nanar mengawasi Winona.

Re menghela napas. Menyerah. Dia tidak perlu pandangan sebelah mata dari teman-teman Winona.

Perlahan, Re melepaskan Winona.

Winona menyebrangi jalan.

“Maafin gue, No.” Bisik Re, lirih.

Hatinya patah melihat Winona yang mengerjapkan mata berkali-kali, menyembunyikan air mata.

Re tahu, Winona masih berusaha melindungi Re dari vonis sahabat-sahabat Winona.

Apa bagusnya punya pacar seorang pecandu narkoba?

“Iya, apa bagusnya?” Re menggumam sendiri.

Menatap punggung Winona yang menjauh. Tidak sekalipun menoleh ke arahnya.

14 Februari 1999. Valentine’s Day.

“Happy Valentine’s Day, No.”

Re menyodorkan seikat mawar merah dan sebuah kotak beludru hitam.

Sesaat setelah Winona menutup pintu mobil.

Winona membuka kotak itu, cincin polos, berwarna putih.

Re menyelipkan cincin itu di jari manis Winona.

“Dipakai terus ya, No. Nih liat nih, gue juga pakai.”

Re mengibas-ngibaskan jarinya di depan Winona.

“Thank you, Re.”

Winona mengecup bibir Re.

“Kita jalan, ya? Jemput temen gue dulu. Ga apa, kan?”

“Ga apa, Re.”

Mereka pergi. Makan malam di sebuah kafe. Berdua.

Teman-teman yang tadi dijemput oleh Re tidak ikut. Mereka turun di pinggir jalan di kota tua.

Ternyata, sepulang dari kafe, Re menjemput mereka lagi.

Winona tidak tenang. Dia merasa ada yang janggal.

Mobil Re memasuki pelataran parkir restoran cepat saji di pusat kota.

Sudah pukul satu dini hari.

“Tunggu sebentar ya, No. Anak-anak mau beli burger. Gue juga mau ke kamar mandi.”

“Okay”

Lima menit, limabelas menit.

Winona sudah bosan mengutak-atik radio.

Sekarang dia memainkan kelopak-kelopak bunga mawar di tangannya.

Dia gelisah.

Setengah jam.

Winona tersentak, pintu mobil  mendadak terbuka.

Re, teman-temannya, bersama dua orang laki-laki berjaket hitam dan cokelat.

Winona tidak tahu siapa mereka.

“Siapa ini?”

Salah satu dari laki-laki berjaket itu bertanya kasar.

“Dia ga ada hubungannya, Pak! Bawa saya aja. Bawa mobil saya!”

Winona bingung.

Re menarik tangan Winona, sedikit menjauh dari kerumunan.

“No, lo telepon bokap gue. Ceritain kalau gue kegep polisi. Gue tadi pakau di kamar mandi.”

Air mata Winona merebak.

“Sssshht…jangan nangis No. Jangan nangis.” bisik Re, lembut.

Menyeka air mata.

Kemudian menyelipkan telepon genggam ke tangan Winona.

Memeluknya singkat. “Maafin gue ya, No. Gue nyusahin.”

Re, teman-temannya dan kedua polisi memasuki mobil.

Sontak tersadar, winona menggedor kaca mobil yang belum sepenuhnya melaju.

Kaca mobil terbuka. Winona melempar kuat-kuat cincin yang tadi diselipkan Re di jari manisnya.

Re menatap Winona, sendu.

Kini mobil benar-benar melaju. Meninggalkan Winona yang masih menggenggam seikat bunga mawar.

Menangis terbata, Winona menelepon orang tua Re.

Setelahnya, Winona menekan digit telepon rumah sahabatnya, Nararya.

Berharap Nararya yang mengangkat.

Winona sudah tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.

Kamar Re. Maret 1999.

Hari ini hari ketiga Re mengikuti terapi seorang dokter yang namanya sudah terkenal.

Dia menjamin Re bisa lepas dari adiksinya terhadap putau.

Hari ini Winona duduk di kursi yang bisa berputar, di kamar Re.

Menatap Re yang sedang meringkuk di tempat tidur.

Menggigil kesakitan.

Winona beranjak, berbaring di sisi Re.

Lengannya merengkuh punggung Re.

“Re, nanti gue jadi istri lo aja ya, Re. Gue pingin ada di samping lo setiap elo sakit, Re.”

Bisiknya.

Re membuka mata, membalikkan badan, menatap mata Winona.

“Serius lo? Jadi istri gue?” Re berbisik, parau.

Winona mengangguk.

“Janji, No?”

“Janji, Re!”

“Makasih ya, No. Gue seneng denger lo ngomong gitu.”

Sesaat kemudian Re tertidur.

Jemarinya terasa nyaman dalam genggaman tangan Winona.

Hatinya terasa hangat dalam dekapan janji Winona.

Rumah Winona. Awal Mei 1999.

Re dan Winona duduk beralas karpet di ruang TV.

“Re, bokap serius ternyata.”

Re menoleh.

“Serius apanya?”

“Gue harus kuliah di luar kota. Bulan depan gue berangkat.”

Re mematikan TV. Menatap Winona dalam-dalam.

“Kita jalan terus kan, No?”

“Iya. Tapi kita jadi jarak jauh gitu, kan?”

“Ada telepon, toh?”

” Iya, sih. Tapi tetep aja ga ada elo, Re.”

Mereka sama-sama terdiam

Re menepuk punggung tangan Winona yang dari tadi digenggamnya.

Mencoba menenangkan Winona. Padahal dia sendiri merasa tidak karuan.

Re tidak tahu, Winona ingin sekali mendengar Re berkata, jangan pergi, tetaplah di sini.

Kamar Re. 28 Juni 1999.

Re duduk di tempat tidurnya. Menatap kursi yang biasa diduduki Winona setiap dia di sana.

Besok Winona berangkat.

Kemarin barang-barang Winona sudah menumpuk rapih di bagasi mobil, hendak dikirim terlebih dulu.

Mulai besok, sudah tidak ada lagi Winona.

Re tidak pernah mengatakan ini pada Winona. Gengsi Re terlalu tinggi.

Re sangat menyayangi Winona.

Dia ingin Winona ada di sepanjang harinya.

Dia ingin mendengar ocehan Winona setiap hari, setiap jam, setiap detik kalau bisa.

Sungguh dia tidak mau Winona pergi.

Tapi mulutnya terkunci.

Ini demi masa depan Winona dan dia yakin, Winona pasti kembali. Winona sudah berjanji, kelak akan mendampinginya sebagai istri.

Tapi sungguh dia tidak mau Winona pergi.

Re mendadak kalut.

Dia berdiri menggapai celah kusen jendela kamarnya.

Meraih spuit yang sengaja dia sembunyikan di sana.

Satu dosis cukuplah.

Tak sampai semenit, raungan sepeda motor Re memecah sepi.

Kamar Winona. 28 Juni 1999.

Mata Winona menyapu penjuru kamar yang isinya sudah jauh berkurang.

Pandangannya terhenti pada selembar tiket kereta api cepat yang tergeletak di atas nakas tempat tidurnya.

Dia tidak lagi bisa berpikir.

Sudah terlalu lelah, terlalu cemas, terlalu sedih.

Besok dia akan pergi.

Winona melirik jam dinding. Sudah pukul sebelas malam.

Dia meraih gagang telepon.

Sampai nada dering kesepuluh, telepon di rumah Re tidak ada yang mengangkat.

Stasiun. Peron 3. 29 Juni 1999

Winona memeluk ibunya, memeluk ibu Re yang ikut mengantar.  Lalu masuk ke dalam gerbong kereta. Disusul Re.

Pagi ini, Winona irit bicara. Terlalu banyak hal berkecamuk di kepalanya.

Terlebih setelah Winona melihat  bekas suntikan putau di lipatan bagian dalam lengan kiri Re, tepat di jalur nadi. Kulit Re yang putih membuatnya semakin jelas terlihat.

“Ah, Re pakau lagi.” Bisik Winona dalam hati.

Pengeras suara stasiun menggemakan pengumuman, memaksa Winona menyimpan kecemasannya dalam-dalam. Kereta sebentar lagi berangkat.

“Hati-hati ya, No.”

Re memeluk Winona.

“Gue sayang elo. Selalu, No” Bisiknya sebelum dia turun dari gerbong.

Petugas Stasiun sudah menyingkirkan tangga penghubung.

Winona bersandar di pintu kereta yang belum tertutup.

Menatap Re dalam-dalam.

Re menatapnya lembut, sedikit tersenyum.

Winona mengerling ke jari manis tangan kirinya. Sinar matahari berpantulan di sana, di permukaan cincin dari Re, yang pernah dilemparkan Winona.

Mendadak kepala winona dibanjiri kenangan bersama Re.

Mengingat pelukan-pelukan Re. Mengingat saat dia sakit dan tidak masuk sekolah, Re datang ke rumah. Menjaga dia. Membiarkan dia tidur di pangkuannya. Mengingat saat mereka pulang dari sekolah, hujan-hujanan, tertawa di sepanjang jalan. Mengingat ciuman di pipi. Mengingat saat Re mencuri ciuman pertama di bibirnya, yang langsung mereka ulangi, lagi dan lagi.

Mengingat saat Re yang mencoba jaket racing yang baru dibeli, kemudian pura-pura mewawancarainya, “Bagaimana kesan-kesan anda menjadi istri pembalap?”

Winona mengalihkan pandangannya dari cincin, kembali menatap mata Re. Re tidak lagi tersenyum.

“Ayo Winona, pergi atau enggak. Pergi atau enggak.” Lagi-lagi pertanyaan itu memenuhi kepalanya.

Dalam hati, Winona tau, ini bukan masalah pergi atau tidak. Ini masalah berani atau tidak dia mengambil keputusan untuk ada atau tidaknya Re di masa depan.

Sepersekian detik menjelang pintu kereta tertutup, Winona mengambil keputusan. Dengan mata terpejam, dia melompat turun dari kereta.

Re spontan merentangkan lengannya, menangkap Winona.

Kejadian itu terlalu cepat. Untuk terkejut pun, Re tidak sempat.

Ibu Winona dan ibu Re berteriak kompak, bersama dengan beberapa orang lain di sekitar mereka.

Winona tersenyum lebar.

“Gak apa-apa, Ma. Wino gak apa-apa. Nanti Wino telepon Papa, Wino jelasin semua. Mama jangan marah dulu, ya.”

Berhamburan kata-kata Winona, tanpa jeda. Dia menarik lengan Re, menjauh dari ibu-ibu mereka.

“No, udah gila ya, lo?!”

Re berteriak, matanya bersinar-sinar bahagia.

“Gue gak tega liat muka elo, Re. Melas banget! Mana bisa gue pergi kalau mukalo melas gitu? Lagian, mana bisa elo jauh dari gue?”

Winona tidak bisa berhenti tersenyum.

“Bego lo, No!”

Kali ini Re tertawa.

Dia sebenarnya masih tidak percaya apa yang barusan terjadi.

Tapi untuk saat ini dia tidak perduli.

Re memeluk Winona erat-erat. Menghirup wangi rambutnya lekat-lekat.

Re lebih dari bahagia. Winona memilihnya. Winona akan selalu ada.

♛♛♛♛♛

Images of broken light, which
Dance before me like a million eyes,
They call me on and on across the universe.
Thoughts meander like a
Restless wind inside a letter box
They tumble blindly as they make their way across the universe.

“Gimana kalau waktu itu elo gak lompat dari kereta ya, No?”

Re bertanya sambil mempermainkan rambut Winona yang terurai menyentuh pinggang. Acak-acakan.

Semua jepit di kepalanya sudah terlepas.

“Kalau gue gak lompat? Sepertinya gue gak akan di sini, Re. Bahkan, besar kemungkinan, kita gak lanjut pacaran sampai sepuluh tahun.”

“Kalau gue gak lompat, gak akan ada hari ini ya, Re?”

“Bisa jadi! Tapi siapa tahu, meskipun elo gak lompat, kita tetap menikah hari ini? Siapa tahu, lompat atau gak lompat, kita sudah jodoh sampai mati.”

“Gue gak ngerti elo ngomong apa, Re.”

Winona yang sedang menggantung buket bunga di tepi jendela memicingkan matanya. Re tersenyum menghampirinya.

“Gue sayang elo, No.”

“Gue sayang elo, Re.”

Re membelai pipi Winona.

“Selamanya?”

“Selamanya!”

“Selalu, No?”

“Cerewet lo!”

Winona menengadah, mengalungkan lengannya ke leher Re.

Bibirnya perlahan mengulum bibir Re.

Dalam sekali hentak, tangan Re menutup tirai jendela.

Sounds of laughter, shades of life
Are ringing through my opened ears
Inciting and inviting me.
Limitless undying love, which
Shines around me like a million suns,
It calls me on and on across the universe

 

♛♛♛♛♛

Tempat Pemakaman Umum Damai. Agustus 2012.

Sudah dua jam Winona duduk terpekur di hadapan sebuah pusara.

Seikat Calla Lily masih berada dalam genggamannya.

Matanya nanar menatap batu nisan yang bertuliskan:

Re

Lahir: 15 September 1981

Wafat: 29 September 2007

Tangis Winona tiba-tiba pecah.

Kenangan bersama Re yang dia putar ulang bersama dengan dunia paralel yang dia rangkai sendiri selama dua jam di kepalanya memburam. Hilang.

Mengembalikan dia pada kenyataan.

Pada dunia di mana tidak pernah ada pernikahan antara Re dan Winona.

Dunia di mana Winona tidak bisa bersama Re karena Winona jatuh cinta dengan seseorang di kota tempat dia kuliah.

Dunia di mana Re membanting undangan pernikahan Winona, di meja ruang tamu, di hadapan Winona, malam menjelang hari pernikahan.

Dunia di mana Winona yang masih dalam balutan kebaya pengantin, menghampiri Re yang datang sebagai tamu, mencium pipi dan lirih membisikkan kata maaf di telinga Re. Tanpa Winona tahu, itu adalah kali terakhir mereka bersentuhan.

Dunia di mana Re akhirnya bertemu dengan seorang perempuan yang entah kebetulan atau tidak, bernama Wynona. Re menikahinya.

Dunia di mana Re akhirnya menyerah kalah setelah tergeletak dalam keadaan koma selama dua hari.

Dunia nyata.

Dunia di mana Winona tidak berani melompat keluar dari kereta.

Jai Guru Deva. Om
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world

Kepada Re. Yang tak lekang di lelipit hati.

[Lyrics: Across The Universe – The Beatles]

Satu Malam Untuk Seorang Perempuan

Malam ini aku hanya ingin menyingkir. Menyingkir sejanak dari peranku, sebelum aku terlanjur menjelma jadi perempuan nyinyir. Aku ingin melebur dalam ramainya bar. Mengubur sejenak pemandangan halaman rumah yang dihiasi rumpun mawar.

Nanti, aku ingin menenggak dinginnya bir. Tanpa memperdulikan ocehan si kecil, yang terngiang si telinga, meminta rambutnya kusisir. Aku ingin menghisap rokok dalam-dalam, sampai ujungnya panjang mengabu. Mengalihkan jemari yang biasa berkutat dengan selang penyedot debu.

Aku ingin menikmati musik. Membiarkan isi kepala menangkapi  rangkaian nada,  menggantikan susunan rencana piknik.

Aku telah menanggalkan celemek. Menukarnya dengan rok pendek.

Aku malam ini bertemu dengan aku yang dulu. Aku yang bebas tanpa harus masak dan sibuk menakar bumbu.

Aku yang berdansa karena aku sedang ingin berdansa. Malam ini, aku tidak ingin dipaksa.

Dan aku bertemu dia.

Namanya Luca. Laki-laki blasteran Minang-Italia.

Dia datang begitu saja. Tidak bermaksud apa-apa.

Segelas Chivas-Cola, sebagai pembuka dan sebatang rokok yang tidak juga menyala karena lupa mengantongi pemantik api, membawa dia datang mendekati aku yang sebenarnya sangat ingin sendiri.

Kaki  panjang. Bahu dan dada bidang. Dua bola mata cokelat yang membuat melayang. Semua ia bawa serta,  sambil menawarkan api yang membakar ujung rokok putih. Di mataku, ia menawarkan sejuta fantasi yang nyalang, merambat liar tanpa sedikitpun tertatih.

Kami mencoba berbicara. Meningkahi dentum musik yang mengaum di telinga.

Rokok sudah mati-nyala-mati lagi-nyala lagi. Tapi Luca dan aku, tak satupun dari kami yang beranjak pergi. Chivas-Cola sudah berganti dengan sentuhan-sentuhan kecil dan bergelas-gelas bir.

Aku teralih, hampir seluruh.

Bayangan suamiku yang bersetubuh dengan perempuan-perempuan bermata sipit dan berputing merah jambu, tidak lagi membuat kepalaku rusuh.

Kami berdansa. Tertawa. Berbicara tentang apapun yang melintas di kepala.

Tentang kemacetan kota yang bagaikan penjahat. Merantai kaki di permukaan aspal berjam-jam lamanya, tidak perduli hati sudah menjerit-jerit ingin pulang ke dalam dekapan hangat.

Tentang  jelang Pemilukada. Semoga siapapun pemenangnya serius memihak rakyat, tanpa mengada-ngada.

Tentang sepeda motor yang menyemut. Siapapun yang melihat pasti isi kepalanya langsung kusut.

Tentang mimpi. Tentang hati yang dikhianati.

Sampai kami hanya berdansa. Tidak lagi berkata-kata. Sibuk tenggelam dalam tatapan mata. Kepalaku mendadak dihujani semoga.

Semoga waktu berjalan perlahan.

Semoga musik tidak beranjak memelan.

Semoga tangan Luca di pinggangku kerasan.

Entah kapan terakhir kali aku merasa seperti ini. Bagai di dada ada letupan seribu kembang api. Aku mencoba menikmati. Tidak ingin merasa rugi.

Luca mengendus keraguanku. Dia mengeratkan pelukannya di pinggangku. Napasnya teraba di penjuru tengkuk. Aku memejamkan mata, meredam kikuk.

“Bebaskan dirimu Andjani. Bebaskan dirimu malam ini.”

Luca berbisik. Keliaranku mulai tergelitik.

Malam ini aku hanyalah Andjani yang Andjani. Yang bukan Ibu, bukan pula Istri. Andjani malam ini tidak beranak, tidak pula bersuami.

Sepasang kakiku kini menjejak mantap di lantai dansa. Pendar cahaya dari layar di belakang sang disjoki aku biarkan memenuhi mata.

Kedua tanganku, kini balas memeluk Luca. Pinggangku meliuk mengikuti geraknya.

Di bibir Luca terbersit senyum, puas. Merasa berhasil membuatku lepas.

Lepas dari satu identitas yang selama ini membatasi aku dari apa-apa yang ingin kulakukan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan alur kehidupanku. Semua aku lalui sesuai buku pemandu.

Lahir, sekolah, kuliah S1, kuliah S2, bekerja, menikah dan memilih menjadi Ibu Rumah Tangga setelah aku berhasil mengantarkan satu nyawa yang sangat kucinta ke dunia.

Aku selama ini bersahabat karib dengan aturan, dengan norma.

Selama menjadi Istri dan Ibu, tidak pernah aku luput mendampingi anak dan suami. Aku Bangun lebih dulu dari matahari. Menyiapkan susu dan segelas kopi. Kesibukan dimulai dengan memasak sarapan pagi. Memilih baju untuk suami. Memandikan anak, mengantar sekolah, menyapu, mengepel, mencuci, menyikat lantai dan bak kamar mandi.

Sesekali pergi dengan teman sesama Ibu Rumah Tangga yang harus lebih dulu pulang daripada suami. Jika malam beranjak pekat, aku bersiap memijat suami, sampai dia tidur tanpa perduli aku yang sudah mengenakan lingerie.

Begitulah hidupku beberapa tahun ini. Jangan salah, aku melaluinya dengan lapang hati. Aku menatap teman-temanku yang menapaki karier tanpa tatapan iri apalagi dengki. Mengurus rumah, suami dan anak dengan sesempurna mungkin, buatku adalah sebuah prestasi.

Tapi semua mendadak kocar-kacir. Saat aku tahu bahwa selama ini, perjalanan dinas  Suamiku tak ubahnya pelesir.

Bersenang-senang dengan perempuan lain. Melewati malam-malam tanpa menempel di tubuh selembarpun kain.

Aku mencoba memaklumi. Berusaha memahami. Sambil berkali-kali berkaca, sebelah mananya tubuhku yang kurang seksi. Sambil berkali-kali mengendus ketiak, memastikan bauku masih wangi.

Aku berkali-kali memutar ulang petuah Ibuku, bahwa menjadi seorang istri, haruslah kuat, haruslah tabah. Karena istri adalah tiang, adalah penopang rumah tangga yang harus hidup sesuai akidah. Suami selingkuh sesekali itu biasa, tapi jika istri melakukan hal yang sama, maka semua hancurlah.

Apapun yang terjadi, istri harus selalu suci. Tidak perduli tingkah suami yang sibuk memenuhi kebutuhan birahi, menuntaskan ereksi, di sana-sini.

Tapi, satu kali aku memaklumi, dua kali suamiku mengkhianati. Dua kali aku memahami, suamiku masih saja selingkuh berkali-kali. Aku lelah,  putus asa, masih untung aku tidak ingin bunuh diri.

Semua terakumulasi. Hasilnya membawaku masuk ke dalam mobil, meninggalkan rumah, membelah jalan, dan berhenti di bar ini.

Aku yang hanya ingin sendiri, tiba-tiba bertemu Luca. Aku harap ini semata-mata hiburan dari semesta.

“Jangan melamun Andjani, ada aku di sini.”

Luca menyelipkan helai rambutku di telinga. Supaya dia bisa berbisik dengan leluasa.

Aku tersenyum.

Luca tersenyum.

Sedetik kemudian senyum kami terangkum dalam kulum.

Aku terkesiap. Bibir Luca selembut gulali kapas yang lumer habis dalam sekali sesap.

Hingar di telingaku mendadak tenang. Manusia-manusia lain di sekitarku seperti menghilang. Aku berada di awang-awang. Payah, hanya dengan satu kecupan aku sudah merasa demikian senang.

Aku ingin mencubit lenganku, meyakinkan diri bahwa ini nyata. Tapi belaian Luca di pipi sudah cukup untuk memastikan bahwa dia bukan fatamorgana.

“Jangan tenggelamkan aku terlalu dalam, Luca.”

Kali ini aku yang bicara.

Luca menghentikan geraknya, menatapku  tanpa jeda.

“Kamu yang lebih dulu memerangkapku. Kamu seharusnya tahu itu.”

Semoga debar di jantungku tidak terdengar. Karena getarnya merambat keluar.

Luca tiba-tiba tertawa.

“Pipimu memerah Andjani. Cantik sekali.”

Ah, rupanya aku terlambat menghentikan hangat yang menyebar dari dada ke kepala. Aku mencoba menyamarkannya dengan ikut tertawa.

“Andjani, pulanglah denganku malam ini.”

Tawaku tertahan di kerongkongan. Betapa ingin aku mengiyakan. Tapi, apa jadinya dengan norma yang selama ini aku pegang, apa jadinya dengan aturan? Tapi, yang aku rasa saat ini adalah damba akan Luca, damba akan suatu kebersamaan. Kebersamaan yang sudah lama aku inginkan.

Tapi, bagaimana dengan petuah Ibuku, bahwa sebagai Istri, haruslah kuat, haruslah tabah.

Karena istri adalah tiang, adalah penopang rumah tangga yang harus hidup sesuai akidah.

Suami selingkuh sesekali itu biasa, tapi jika istri melakukan hal yang sama, maka semua hancurlah.

Apapun yang terjadi, istri harus selalu suci. Tidak perduli tingkah suami yang sibuk memenuhi birahi di sana-sini.

Ah, malam ini aku bukanlah istri. Aku perempuan dengan darah yang masih mengalir dalam nadi. Norma, aturan, akidah, malam ini aku tidak perduli.

Aku hanya mendamba Luca. Yang datang tanpa aku minta. Malam ini berharga. Aku akan menukar tiap detiknya dengan hampa yang selama ini aku pelihara.

Malam ini, bergelas-gelas bir yang sudah kutenggak seharusnya sudah cukup membuatku berani mengangkangi Luca. Aku akan mengangkangi Luca semalam suntuk. Persetan dengan takdir yang akan balas mengutuk.

“Bawa aku pergi dari sini, Luca!” Dia tersenyum. Senyum malaikat yang ingin segera kukulum.

Aku menyerah pada Luca. Aku ingin lupa.

Lupa akan perempuan-perempuan dengan mata sipit dan puting merah muda.

Lupa akan nama dan tanda tanganku yang tertera di selembar surat. Surat yang menyatakan bahwa aku sebagai istri, tidak boleh khianat.

Yang aku damba sekarang hanya sekumpulan urat. Menggelantung pada tubuh laki-laki di depanku yang akan membuatku menggelinjang luapkan penat. Anggap saja aku laknat. Perempuan bejat. Aku tidak perduli, akan kutelan habis semua umpat.

Demi untuk bersama dia.

Namanya Luca.

Laki-laki blasteran Minang-Italia.

Yang datang begitu saja. Tidak bermaksud apa-apa.

♛♛♛♛♛

Ruang TV.

1:33 AM

Biru, Jatuh Hati

Dri…

Katamu, sepasang mataku memendarkan tujuh warna pelangi.

Katamu, senyumku mampu mengguncang nirwana, Dewa-Dewipun berebut melongok ke bumi.

Sudah cukup kamu menenggelamkan aku dalam seribu puja-puji.

Raihlah cermin.

Dan coba jelaskan kepadaku,

mengapa lengkung di bibirmu bisa sekian lama bergayut di balik kelopak mataku?

Bagaimana bisa kamu ciptakan badai dedaunan musim gugur yang berpusat pada sepasang matamu?

Akupun memujamu.

Akupun berlama-lama terjaga hanya untuk menenangkan dentuman di dada.

Setiap kamu melesat di kepala.

Ini rahasiaku.

Aku tidak lagi bisa kemana-mana.

Semesta kecilku habis terangkum di lingkar pelukmu.

Dengarlah ini Dri,

dan simpan di dalam laci waktu,

sebagai pengingat jika sesekali kamu meragu.

Betapapun nanti aku, kamu, akan berdiri pada petak-petak abu-abu,

aku akan selalu kembali pada birunya laut yang melatari aku, kamu dan jatuhnya hati.

Pangandaran. 12 Januari 2008.

Satu tahun sejak pagi pertama kita bertemu.

Kutulis ini dengan seribu rindu.

Lan.

[Ditulis untuk #15HariNgeblogFf2]

Day: 7

Sehangat Serabi Solo

“Kedai Serabi Bu Tarjo, Sebelah utara dari gerbang lengkung Pasar Klewer.

Tunggu di sana, pesan-pesan dululah kau, 5 menit lagi sampai aku.”

Aku membaca ulang SMS dari Noya.

Sudah 20 menit dari ‘5 menit lagi’ nya Noya. Di mana anak itu?  Ponselnya mati pula.

Setengah gelas kopi encer dan hampir setengah pak rokok aku habiskan di sini.

Aku mengedarkan pandangan ke luar kedai. Memilah-milah obyek yang sekiranya menarik untuk kuabadikan di kameraku.

Ada beberapa. Salah satunya, kesibukan buruh-buruh pasar yang memanggul gelondongan kain batik.

“Bu, sekedap nggih, kulo bade moto riyen. Dekat kok bu, mangke kulo mbalik.”*

Dengan bahasa Jawa yang semoga tidak terlalu belepotan, yang baru dua hari ini aku pelajari dari supir sewaanku, aku berpamitan kepada pemilik kedai yang sibuk mengaduk adonan serabi.

“Inggih mas, inggih, monggo.”**

Aku melangkah ke luar kedai, mengganti lensa wide angle-ku dengan lensa 18-200 mm. Lebih nyaman untuk mengakomodasi komposisi foto yang aku inginkan.

Baru beberapa jepretan, lensaku menangkap sehelai kain batik dengan motif parang warna-warni.

Ah, pasti Lan cantik sekali memakai kain itu.

Lan lagi, Lan lagi.

Tidak ada hari tanpa dia berlari-lari di kepalaku.

Sudah lebih dari dua minggu sejak perjumpaan pertama kami di Pulau Langkuas.

Sudah lebih dari dua minggu sejak dia menangkapku dengan seulas senyumnya, di pagi buta.

Kami hanya berkomunikasi via ponsel. Sesekali aku mampir ke lokasi pemotretannya, sekedar menitipkan camilan favoritnya pada sang asisten. Strawberry segar dengan krim keju. Dalam obrolan ngalor-ngidul kami, dia pernah menyebutkan kalau itu camilan favoritnya.

Aku belum sempat mengajaknya keluar, bahkan untuk sekedar makan siang.

Dia sibuk, aku sibuk. Ya, lebih tepat,  aku sibuk maju-mundur untuk mengajaknya.

Takut ditolak. Laki-laki macam apa? Haha.

“OI, DRI!”

Spontan aku dan beberapa orang lain yang sedang mondar-mandir, menoleh ke arah suara, yang ekstra menggelegar.

Noya.

“Kemari kau! Sedang apa kau di sana? Ga usah ngeluyur kau! Lapar kali ini aku!”

Dia yang terlambat, dia pula yang mengomel.

Aku menutup lensaku. Menghampiri Noya.

Dia sedang melongokkan kepalanya ke dapur kecil di depan kedai tempat kami janjian tadi.

“Bu, Serabi enam,  teh tawar dingin satu, ya.”

“Ha? Banyak amat Noy?”

“Jangan banyak cakap kau! Lapar aku. Itu 5 biji untuk aku. Kalau kau kurang, pesan sendiri!”

Noya membanting pantatnya ke bangku kayu. Aku duduk di hadapannya.

“Panas kali hari ini. Lelah kali aku Dri. Susah kali model-model baru itu kerjasama.”

Aku pura-pura tidak mendengar.

“Dri, Oi Dri, jangan bengong kau lae! Suruh berhenti mondar-mandir itu si Lan di kepala kau.”

Aku memicingkan mata. Dia nyengir.

Hmmm, mumpung dia menyinggung-nyinggung Lan…

“Noy, kalau aku ajak Lan pergi, dia mau gak ya?”

“Kencan maksud kau?”

Dan, menengoklah separuh pengunjung kedai.

“Bisa kau pelankan suara kau, Noy?”

Desisku.

Lagi-lagi, dibalas cengiran.

“Coba saja lah Dri. Toh, kau dan Lan sudah dekat.”

“Kalau dia ga mau?”

“Borgol. Jemput paksa.”

“Gak guna curhat ke kau, Noy.”

Aku melengos.

“Serius aku, ambil itu ponsel kau, jangan jadi banci kau lae!”

Setelah menimbang sejenak kata-kata Noya,aku merogoh ponselku, menatap layarnya.

Sepersekian detik kemudian, layarnya berkedip.

Ada SMS masuk.

“Dri,  besok sudah di Jakarta? Jadi ambil first flight dari Solo? Temani aku makan siang, bisa?”

Dari Lan.

Aku merasa sedang mandi pelangi.

Aku menyodorkan ponselku ke Noya yang sudah mencondongkan badannya ke arahku.

Noya meraihnya cepat. Membaca SMS Lan sekejap.

“Banci kau Driii. Banciiii. Kalah kau sama perempuan. Malu kali aku jadi kawanmu, bah!”

Tawa Noya pecah. Aku tidak perduli.

Besok siang, kencan pertamaku dengan Lan.

Saat ini,

aku hanya ingin menikmati hatiku yang mendadak sehangat serabi solo yang baru saja tersaji di depanku.

Ditulis untuk #15HariNgeblogFf2

Day: 6

*Bu, sebentar ya, saya mau foto-foto dulu. Dekat kok bu, nanti saya kembali.

**Iya mas, iya, silahkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

(Karena Aku Mau Menggenggam Tanganmu) Di Sepanjang Jalan Braga

Ah…aku pasti sudah gila.

Aku mengiyakan begitu saja ajakan Dri, laki-laki yang baru saja aku kenal, untuk berakhir pekan di Bandung.

Tiga bulan yang lalu aku bertemu dengannya, di sebuah mercusuar, jauh di Pulau Langkuas sana.

Aku masih sering tersenyum sendiri mengingat hari itu.

Hari di mana kami bertukar nama saat matahari masih sangat muda dan sejak hari itu tidak ada hari yang terlewat tanpa sapanya.

Hanya sekedar menyapa selamat pagi, siang, sore, malam.

Meski begitu tidak ada satupun dari kami yang pernah bertanya, sudah makan atau belum? Toh, kami tidak mungkin mati kalau tidak ada yang mengingatkan soal sudah makan atau belum.

Lagi pula, aku sudah muak dengan berderet laki-laki yang mencoba merebut perhatianku dengan memberi perhatian yang berlebih, macam, sudah makan belum, nanti sakit loh dan seterusnya yang pada akhirnya luber tidak karuan, tidak terserap hati.

Bersama Dri, aku menemukan hal-hal yang lain.

Hanya Dri yang lebih memilih untuk bertanya, bagaimana hariku, daripada bertanya, apa yang sedang aku lakukan.

Yang lebih memilih bertanya, apa semua baik-baik saja, daripada bertanya, aku sedang di mana, bersama siapa.

Yang tiba-tiba datang di lokasi pemotretan untuk sekedar menitipkan satu pak strawberry dingin dengan krim keju kesukaanku kepada Nadia, asistenku.

Hanya Dri yang bisa menyelipkan tawa ditengah-tengah hariku yang sibuk.

Dan lebih dari semua itu, ia  menghujaniku dengan perhatian-perhatian kecil. Aku tidak keberatan, aku lapangkan seluruh pepori di tubuhku untuk menyerapnya.

Tidak perlu banyak usaha, Dri dan segala pesonanya, menguasai semesta kecilku, mungkin semudah ia membalikkan telapak tangan.

Tapi masih saja, aku merasa aneh sudah mengiyakan ajakannya, memohon-mohon pada Nadia untuk meluangkan jadwalku agar bisa berada di sini.

Di kafe kecil, sudut jalan Braga.

Aku meneguk segelas lemon tea. Gelas kedua.

Aku tidak haus. Tapi setiap gugup, aku cenderung banyak minum.

Ah, itu dia.

Sosok tinggi tegap yang baru saja membuka pintu cafe, tersenyum kepadaku.

Rambut ikal yang menyentuh kerah kaosnya bergoyang-goyang, seirama dengan langkahnya.

Lucu.

“Lan, maaf  ya aku terlambat.”

Katanya sesudah mengecup pelipisku, iya pelipisku.

“Kamu sudah pesan makanan Lan?”

Tanyanya.

“Belum Dri. Aku masih kenyang.”

“Langsung jalan aja yuk. Tadi di depan Gedung Merdeka ada pertunjukan capoiera. Seru sepertinya.”

Senyum masih belum lepas dari bibirnya, sepasang bola matanya yang berwarna cokelat bening berbinar-binar.

Dia mengulurkan tangannya.

Aku menyambutnya. Lagi-lagi mengiyakan ajakannya.

Perasaan aneh yang tidak bisa kuidentifikasi sudah kutepis jauh-jauh.

Hari ini, aku hanya mau menggenggam tangannya di sepanjang Jalan Braga.

Dari ujung ke ujung.

Oh ya, satu lagi yang aku suka,

saat kami sedang di trotoar, dialah yang berjalan di sisi luar.

Ditulis untuk #15HariNgeblogFf2

Day: 5

 

 

 

Kerudung Merah

Lan….

Sudah enam bulan sejak  aku memintamu menunggu di pelataran Jam Gadang.

Sudah enam bulan sejak kamu pergi bergitu saja, tidak karuan rinduku meradang.

Andai aku bisa lebih cepat meyakinkan bunda untuk menerima kamu,

mungkin aku tidak di sini sekarang, masih bersamamu, mungkin.

Dari awal kamu sudah mencoba untuk mengatakan kepadaku kalau semua ini sia-sia.

Bahkan dari awal kamu sudah berusaha menarik garis batas.

Segala yang terjadi di masa lalumu sebenarnya cukup menjelaskan semua.

“Dri, kita jalani saja. Tidak perlu ada ikatan apa-apa. Selama kita nyaman.”

Itu kata-katamu saat aku memintamu menjadi kekasihku setelah beberapa bulan kita dekat.

Bukan iya, bukan pula tidak. Hanya jalani saja.

Kamu sudah tahu apa yang akan terjadi di akhir hubungan kita.

Lan…

Lima tahun kita berkubang di ‘jalani saja’ , kamu bertahan di sampingku, meski sejak hari pertama kamu sudah tahu kalau kita tanpa ujung.

Siapa diantara kita yang sesungguhnya membuang-buang waktu?

Aku pernah menanyakan itu dan katamu, kalau setiap detik yang kamu jalani bersamaku adalah membuang-buang waktu, maka surga adalah tong sampahnya.

Aku tertawa takjub, lalu memelukmu erat-erat.

Memelukmu…

Kamu itu bidadari Lan.

Apakah salah kalau aku kemudian melamarmu?

Kamu tidak lagi bisa menjawab “Kita jalani saja” atas permintaanku yang satu itu.

Kamu balik bertanya, bagaimana caranya kita menikah?

Kamu tidak mau memaksakan diri untuk menjadi bagian dari keluargaku yang tidak kunjung menerima kamu apa adanya.

Mungkin kesalahan terbesarku adalah kelepasan bicara, membelamu mati-matian saat aku berbicara di ponsel dengan  bunda dan kakak perempuanku sendiri, mengabari kalau aku dan kamu akan menikah.

Bagaimana aku tidak marah Lan? Kalau kata-kata pertama dari bunda adalah, “Sudahkah kau memberikan kerudung  yang bunda titipkan? Apakah perempuan itu  sudi memakainya?”

Itu sama saja dengan menanyakanmu apakah kau siap untuk menyembah arah kiblat.

Kerudung merah itu, masih terlipat rapih di laci mejaku.

Aku tidak mau melangkahimu, Lan. Sungguh.

Dan kamu memiliki nama, Lan. Perih telingaku mendengar bunda menyebutmu ‘perempuan itu’.

Aku banting ponselku ke dinding. Aku lupa saat itu aku sedang berada di ruang yang sama denganmu. Kamu di sana, di sudut kursi, ketakutan. Menepis pelukanku.

Sekarang kamu entah di mana.

Yang aku tahu, kamu membatalkan kontrak-kontrak kerjamu, manajermu terpaksa mengadakan konferensi pers di sebuah cafe kecil untuk mengabarkan keberadaanmu, yang aku yakin, dia sendiri tidak tahu.

Yang aku tahu, setiap paras yang kutemui adalah wajahmu.

Yang aku tahu, aku setengah mati rindu.

“Dri, dari tadi masih belum bergerak kau? Jangan  melamun, bisa dibawa pergi  penunggu danau nanti kau lae!”

Noya.

Suaranya dua kali lebih mengagetkan dari tepukannya di bahuku.

“Jauh-jauh aku seret kau ke Toba, masih banyak bengong saja kau. Main-main airlah kau sana lae, biar sejuk kepala kau.”

Aku hanya menatap Noya, tidak berkedip, tidak mengangkat alis.

“Wah, parah kali kau Dri!!!”

Noya merogoh kotak rokok dari sakunya, mengambil sesuatu.

Melemparnya ke arahku.

Reflek aku meraihnya.

Selinting ganja.

“Bakarlah lae.”

Noya menatapku, kedua bibirnya dia tarik ke sudut, sepertinya berusaha tersenyum maklum, bukan cengiran seperti biasa.

Lima menit kemudian, senyuman maklumnya berubah menjadi kekehan panjang tak berhenti.

Sementara aku, menatap lurus pada kabut yang muncul di permukaan danau.

Naik ke hutan pinus.

Lan, aku menatap bayanganmu, dengan kerudung merah yang ujungnya kau sampirkan di kedua bahumu.

Cantik sekali.

Ditulis untuk #15HariNgeblogFf2

Day: 4

Jingga di Ujung Senja

Aku memandang Jembatan Ampera dari balik jendela kapal pesiar mungil yang akan menjadi setting untuk pemotretan hari ini.

Sebuah kebetulan yang diatur sedemikian rupa oleh semesta, aku kembali ke Palembang, tanah kelahiranku, tepat di hari peringatan kematian A Pa*

Sudah enam tahun.

Ah…sesedih-sedihnya aku, sepatah-patahnya hatiku, tidak ada setetespun air mata yang bisa aku berikan untuk A Pa.

Bahkan sampai hari ini.

Aku hanya merasa ada lubang besar dalam hidupku sepeninggal A Pa. Tidak akan bisa terisi. Mungkin lubang itu akan tertutup sendiri saat tubuhku sudah menjadi abu.

Aku dibesarkan dengan tangan A Pa.

A Ma* sakit-sakitan.

Menurut cerita A Pa, A ma mempertaruhkan nyawanya selama sembilan bulan saat mengandungku.

Setelah aku lahir, habis sudah kekuatan A ma.

Beliau hanya berbaring di tempat tidurnya, setiap hari, selama delapan tahun.

Sampai A Ma meninggal. Di kamar yang sama. di tempat tidur yang sama.

Dan mata kecilku sempat merangkum seluruh kasih sayang yang diberikan A Pa kepada A Ma.

Aku yang belum mengerti apa-apa, bisa merasakan hangat yang menyebar ke seluruh tubuh, saat melihat A Pa mengecup pelipis A Ma, saat melihat A Pa menyisiri rambut  A Ma yang semakin rontok setiap harinya.

Saat melihat binar di bola mata cokelat milik A Pa setiap A Ma membuka mata, dan lirih memanggil namanya.

Belakangan aku tahu, kehangatan itu punya nama, cinta. Cinta yang demikian besar.

Seperti aku, tidak pernah ada air mata dari pelupuk mata A Pa saat A Ma meninggal. Tidak juga hari-hari berikutnya. Tidak juga malam-malam berikutnya.

Belakangan aku tahu, seperti aku sekarang,  dalam hidup A Pa, ada lubang besar yang tidak bisa terisi, meski ditangisi berkali-kali.

A Pa membesarkanku dengan segala daya yang ia punya. Aku dihujani kasih sayang. Kecupan di pelipis dan jepit-jepit hias  yang diselipkan A Pa di rambutku yang telah disisirnya, setiap pagi dan sore.

Aku melihat binar di bola mata cokelat milik A Pa setiap aku pulang membawa piagam, piala, atau rapor dengan tebaran nilai 8 dan 9.

A Pa masih memiliki cinta yang demikian besar. Hanya untukku, anak satu-satunya dari perempuan yang ia cintai setengah mati, sepanjang hidupnya.

Aku mendengar banyak cerita tentang A Pa dan A Ma.

A Pa adalah putera dari seorang saudagar kaya, sementara A Ma, beliau putri dari seorang pekerja rendahan.

Tentu saja orang tua A Pa, A Kung* dan PhoPho* yang tidak pernah kutemui, marah besar.

Hari di mana A Pa menikahi A Ma, adalah hari dimana nama A Pa dicoret dari silsilah keluarga.

Mereka, keluarga A Pa, tidak pernah menganggap keluarga kecil kami ada.

Karena itulah, beliau mati-matian bekerja untuk menghidupi A Ma dan aku dengan berdagang Mie Celor di bantaran sungai Musi.

Demikian aku sangat terbiasa untuk hidup tanpa buaian materi.

Tapi aku terlanjur hidup di dalam rendaman kasih sayang A Pa. Di mana lagi aku bisa mencari?

Semua laki-laki yang aku temui, tidak bisa dibandingkan dengan A Pa. Walau seujung kuku.

“Segeralah kau menikah, Lan. A Pa tidak mungkin hidup selamanya.”

Pesan A Pa sebelum beliau jatuh koma, dan tidak pernah kembali sadar.

Menikah? Mungkin nanti, dengan seseorang yang kehangatannya menguar sampai ke dalam hatiku.

Persis seperti A Pa.

Ah…pintu kabinku diketuk.

Aku membuka pintu, Nadia, asistenku, menghambur masuk.

“15 menit lagi kamu ke dek, ya. Fotografernya sudah datang. Oh iya, besok kamu jadi ke Belitung loh, Pulau Langkuas.  Ambil flight terakhir aja ya kita, Lan. Photo shootnya lusa pagi.  Kita bermalam di Tanjung Pandan.”

“Okay Nad. Aturlah gimana bagusnya.”

Nadia mengangkat alis.

“Lipstikmu cemong.”

Jarinya gesit mengusap ujung bibirku dengan tissue.

“Okay Lan, 15 menit lagi ya. Aku duluan ke dek.”

Sedetik kemudian, pintu kabin berdebam.

Aku menoleh ke  jendela.

Di sepanjang jembatan Ampera, lampu-lampu sudah menyala, rona jingga menyebar sepanjang mata memandang.

Aku meneliti pantulan bayanganku di cermin. Sempurna.

Aku siap melangkah keluar.

Senja sudah mencapai ujungnya.

♛♛♛♛♛

Ditulis untuk #15HariNgeblogFf2

Day: 3

*A Pa: Ayah

A Ma: Ibu

A Kung: Kakek

PhoPho: Nenek