Words are flowing out like
Endless rain into a paper cup
They slither wildly as they slip away across the universe.
Pools of sorrow waves of joy
Are drifting through my opened mind
Possessing and caressing me.
Di hadapan cermin, Winona melepaskan jepit-jepit yang menyangga sanggul sederhana di kepalanya.
Dia melirik Re yang berdiri di sampingnya.
Re melepas peci putih yang sudah lebih dua jam dia kenakan di kepalanya.
Dia melirik Winona yang berdiri di sampingnya.
“Kenapa senyum-senyum?”
“Elo yang senyum duluan, No. Kalau gak disenyumin balik, ngambek…”
Winona melempar jepit rambut yang dia pegang. Tepat mendarat di hidung Re.
Re meraih selembar amplop berwarna nila yang tergeletak di meja. Ingin membalas lemparan Winona.
“Reeee…itu undangan kita. Mau gue masukin album. Nanti lecek tau!”
“Sori, sori.”
Re masih menggenggam amplop berwarna nila. Mengeluarkan isinya. Hanya berupa selembar art paper juga berwarna nila. Di permukaannya tertulis:
Pernikahan Putra-Putri Tercinta
Re Dengan Winona
Sabtu 15 September 2008, Pukul 11.00 WIB
Rumah Kebun
Jakarta Timur
Re tersenyum, meletakkan perlahan undangan pernikahannya di atas meja.
Menghampiri Winona yang masih sibuk melepaskan jepit-jepit rambut dari kepalanya.
Dia memeluk Winona dari belakang.
“Akhirnya, No.”
Winona tersenyum. Menggenggam tangan Re.
“Inget gak, Re? Sepuluh tahun yang lalu elo ngajakin gue balikan?”
“Ya inget, lah. Di kamar ini juga, kan?”
“Iya, itu kenapa, gue mau kamar ini jadi kamar pengantin kita.”
“Banyak sekali yang terjadi setelah hari itu ya, No?”
“Banyak, Re. Gue masih ingat semuanya.”
Re mengeratkan pelukannya.
Winona mengeratkan genggamannya.
Mereka berdua berenang di dalam kolase kenangan yang mereka susun sendiri.
Jai Guru Deva. Om
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
♛♛♛♛♛
SMU 1001. Awal Januari 1997.
Winona dengan seragam putih-abu abu. Sedang menghapus papan tulis di kelasnya.
Ekor matanya menangkap sosok yang sedang melewati koridor.
Winona menoleh. Memperhatikan. Kemudian ternganga.
Tinggi, tampan, dengan rambut lurus yang nyaris menutupi telinga, hampir menyentuh kerah. Terbayang olehnya tokoh Therius dalam komik Candy Candy. Komik Jepang favoritnya.
Penghapus papan dia lempar begitu saja. Dia berlari menuju pintu. Berharap kalau sosok Therius tadi belum menghilang.
“Siapa dia?”
Bisik Winona.
Sambil matanya terus mengikuti sosok yang menghilang di balik pintu kelas 1-3. Selisih 5 pintu dari kelas Winona di 1-9.
SMU 1001. Awal Februari 1997
Re dengan seragam putih abu-abu. Baru saja selesai jam olahraga. Sedang berjalan di koridor depan kelas Winona. Bersama empat temannya.
“Re, ini nih kelasnya si ituuu, si keriting ituuu.”
“Iya, nih Re. Ciyeee, ciyeee.”
Mereka mendorong-dorong Re.
“Berisik lo pada ah, resek!”
Re memukul pelan bahu salah satu temannya.
Mereka tertawa. Terus berjalan.
Re memperlambat langkahnya. Diam-diam penasaran dengan Winona, si keriting, perempuan yang berkali-kali menitipkan salam lewat teman-teman sekelasnya,.
Teman-temannya sekarang berada selangkah di depan.
“Okay. Ini saatnya! Seengga-engganya gue harus tau di mana dia duduk.” Re menggumam.
Re sampai di ujung pintu kelas Winona yang terbuka. Ketika ia pikir keadaan sudah aman, Re menoleh pelan.
Tepat saat Winona melirik. Mata mereka beradu.
Re tersenyum kecil. Lalu menyusul teman-temannya.
Dia tidak sempat melihat balasan senyum Winona. Apalagi melihat teman sebangku Winona yang menendang pelan kaki Winona sambil tertawa kecil.
Plaza Biru. Pertengahan Februari 1997
Winona menunggu Damar, Nararya dan Bastian, teman-temannya yang sedang mengantri tiket.
Dia bersandar di railling lobi bioskop sambil mengamati poster-poster film.
“Hei, No. Ngapain?”
Tepukan di bahu. Suara yang familiar.
Winona tersentak. Lalu menoleh.
Re berdiri di sampingnya. Kemeja flanel, jeans dan sepatu converse.
Winona menelan ludah, ia menatap lurus ke sandal jepit kuning yang dia pakai, naik terus ke celana cordurai cokelat yg dia potong paksa selutut dan T-shirt Jurrasic Park yang sudah belel.
Kemudian menatap Re, yang menunggu jawabannya.
“Nonton, lah. Sama anak-anak. Tuh masih pada ngantri. Lo nonton juga?”
“Enggak. Gue abis ngegame. Abis ini mau makan di bawah.”
“Oooh.”
Hening sejenak
“Okay, gue cabut dulu, ya.”
Winona mengangguk.
Melambaikan tangannya pada Re yang menuruni tangga, lalu menghampiri teman-temannya yang masih mengantri, sambil memaki di dalam hati.
“Mampus gue. Kenapa pas lagi ngegembel gini, gue malah ketemu Re? Aaaarrgh.”
Rumah Winona. Awal Maret 1997
Selembar kertas di tangan winona sudah kusut. Nomor telepon Re tertera di sana.
Sebenarnya, sejak di sekolah tadi, nomor itu sudah dia hapal di luar kepala.
Entah sudah berapa kali Winona mondar-mandir di depan telepon.
Menggigit bibir. Mengacak-ngacak rambut. Memilin-milin kaos yang dia pakai.
“Ah, sebodo lah!”
Mengalahkan segala kecemasannya, Winona mengangkat gagang telepon, memencet tujuh tombol.
Nada tunggu satu, nada tunggu dua,
“Halo”
“Halo, selamat siang. Re-nya ada?”
“Re? Lagi basket. Dari siapa ini?”
“Winona”
“Nanti sore telepon lagi, ya!”
Telepon ditutup.
Winona mengacak-acak rambut.
SMU 1001. Kantin. (Masih) Awal Maret 1997
Jam istirahat. Kantin empat-empatnya penuh. Terlihat seperti belantara putih-abu abu. Ramai.
Re dan teman-temannya berkumpul di kantin keempat. Paling ujung.
“Psst, Re, hoy, tuh liat tuh, siapa tuh yang baru dateng.”
Re melirik ke arah yang baru saja ditunjukkan temannya.
Winona, baru saja masuk ke kantin kedua.
“Ciyeee, Re, ciyeeeee.”
“Jangan kenceng-kenceng dong. Tuh, nengok kan anaknya.”
Re mengomel. Teman-temannya malah lebih semangat menggoda. Apalagi saat mereka tahu, Winona melirik ke arah mereka.
“Aaaah, udah ah. Cabut! Balik ke kelas!”
Re berdiri, berjalan meninggalkan kantin, berharap teman-temannya mengikuti. Dia tidak mau Winona merasa terganggu dan malu.
Berhasil. Teman-temannya mengekor di belakang Re. Tidak lagi menggoda.
Setelah tiba di koridor, Re tiba-tiba berhenti.
“Anjrot! Gue lupa bayar minum. Duluan gih lo pada.”
Tanpa menunggu respon teman-temannya, Re balik kanan, berlari kecil menuju kantin.
“Semoga anak itu masih di sana.” Harapnya.
Dan ya, Winona masih di tempat yang sama.
Re menghampiri Winona, yang sedang mengunyah bakwan.
“Hai, No.”
“Hai…”
“Elo kalo telepon gue, agak sorean ya. Gue kalau sore di rumah, kok. Okay? Gue balik ke kelas, ya.”
Re meninggalkan Winona yang masih memegang separuh bakwan di tangannya. Yang belum berkata apa-apa.
Dia tidak mau Winona mendengar detak jantungnya yang mendadak berdegup lebih kencang.
Sejak hari itu, mereka, Re dan Winona menjadi dekat.
Depan SMU 1001. Desember 1997.
Re berjongkok beberapa meter di belakang Winona, yang sedang menunggu angkutan umum bersama teman-temannya.
Kemarin siang, dia menerima surat dari Winona. Isinya, pernyataan kalau Winona menyukainya dan memintanya menjadi pacar.
Re meminta tolong temannya untuk memanggil Winona.
Tidak sampai semenit, Winona berdiri di depan Re.
“Apa, Re?”
“Elo, nembak gue?”
Winona mengangguk.
“Elo kan tau gue suka bolos, ngerokok pula. Elo masih mau jadi cewek gue?”
Di luar dugaan Re, Winona tiba-tiba berjongkok, di sebelahnya.
“Kenapa engga?”
“Elo juga ga bisa ngatasin kenakalan gue, kan?”
Winona menatap Re lurus. Hampir membuat Re tergeragap.
“Elo ga pernah ngasih gue kesempatan.”
Winona menyahut pelan.
“Gue gak mau ngecewain elo belakangan. Kita gak cocok.”
“Gak bisa dicocok-cocokin?”
Sahut Winona lagi, kali ini sambil menggaruk kepala, menatap jalan raya di depan mereka.
Re tidak bisa menahan senyumnya.
“Elo mau coba?”
“Iya. Gue mau coba!”
Kali ini, Winona kembali menatap Re, dalam.
Re mengacak-acak rambut. Diam-diam bersyukur atas kekeraskepalaan Winona.
“Ya udah. Kita coba.”
“”Oh iya, No. Elo gue telepon semalem, engga ada yang angkat.”
“Oooh…”
“Okay, gue balik.”
Re berdiri, menyetop angkot yang melintas. Meninggalkan Winona.
Dia melihat Winona melambaikan tangan. Sedikit ragu-ragu.
“Payah. Gue keduluan.”
Bisik Re, lalu tersenyum sendiri.
Kamar Winona. Akhir Mei 1998.
Winona berdiri di depan jendela kamarnya. Matanya sembab.
Karpet yang terbentang di tengah-tengah kamar penuh dengan lembaran-lembaran catatan hariannya.
Kemarin, Re menyudahi hubungan mereka. Dia bilang, Winona terlalu banyak menuntut.
Padahal yang Winona minta, hanya sedikit perhatian.
Re terlalu sibuk dengan teman-teman baru dan sepeda motor yang dia modifikasi sedemikian rupa untuk kebut-kebutan.
Re bilang, Winona sudah cukup mendapat perhatian dari sahabat-sahabat laki-lakinya. Belum lagi sahabat-sahabat perempuan.
Re juga bilang, jumlah total sahabat Winona yang lebih dari selusin itu sudah cukup untuk menghujani winona dengan perhatian. Hingga tidak perlu lagi Re menambahkan.
Hati Winona patah. Menangis dia semalaman. Tidak tidur karena sibuk membaca catatan-catatan harian penuh dengan nama Re yang rencananya akan dia masukkan dalam kardus lalu disimpan di gudang. Tidak tidur karena mengingat pelukan-pelukan Re. Mengingat saat Winona sakit dan tidak masuk sekolah, Re datang ke rumah. Menjaga Winona. Membiarkan Winona tidur di pangkuannya. Mengingat saat mereka pulang dari sekolah, hujan-hujanan, tertawa di sepanjang jalan. Mengingat ciuman di pipi. Mengingat saat Re mencuri ciuman pertama di bibir Winona, yang langsung mereka ulangi, lagi dan lagi.
Mengingat saat Re yang mencoba jaket racing yang baru dibeli, kemudian pura-pura mewawancarai Winona, “Bagaimana kesan-kesan anda menjadi istri pembalap?”
Winona menarik nafas panjang. Dia ingin tidur sebentar.
PANTAI Cottege. Awal Juni 1998.
Re duduk di pasir. Menatap laut di depannya. Matahari hampir terbenam.
Seharian ini, yang dia pikirkan cuma Winona.
Rambut keriting Winona yang sering acak-acakan, gaya bicara Winona yang ceplas-ceplos. Winona yang tidak bisa bersikap manis, apalagi romantis. Winona yang keberadaannya selalu mencolok mata karena tingkahnya yang tidak bisa diam. Winona yang mudah menarik perhatian. Semua itu pernah Re keluhkan. Tapi sekarang berbalik. Re merindukan.
Apakah sudah benar keputusannya untuk menyudahi hubungan? Bagaimana jika Winona tidak mau berbicara lagi dengannya? Bagaimana jika Winona menemukan orang lain? Re resah. Dia tahu Winona cepat jatuh cinta.
Matahari sudah benar-benar tenggelam. Sayup, Re mendengar Ibunya memanggil.
Re ingin cepat pulang. Dia ingin menelepon Winona.
Rumah Re. (Masih) Awal Juni 1998
“Halo. Wino?”
“Re?”
Mereka berbicara lebih dari dua jam.
Tidak ada yang berubah. Semua malah terasa lebih menyenangkan.
Kamar Re. 15 September 1998.
Winona masih terbengong-bengong. Duduk di kursi yang bisa berputar, di kamar Re. Menunggu Re yang sedang membuatkan teh di dapur.
Dia tidak menyangka, Re memintanya ke rumah.
Hari ini ulang tahun Re.
Winona sudah menyiapkan hadiah, sebuah puisi yang dia tulis sendiri. Menghiasnya sedemikian rupa selama dua hari, dengan bantuan sahabat-sahabatnya.
Rencananya hadiah itu akan dia serahkan di sekolah.
Rencana berubah, saat bel berbunyi, Re sudah di depan kelas, menunggunya, mengajaknya ke rumah.
Lamunan Winona buyar. Re masuk ke kamar. Membawa segelas teh.
Serta merta, Winona menyodorkan hadiah yang tidak dia bungkus.
Re tersenyum. Menerimanya, duduk di tempat tidur, membaca puisi Winona.
Ada hening yang cukup lama.
Winona memilih untuk tetap duduk di kursi, sambil berputar-putar.
“No, balikan, yuk. Lo mau, gak?”
Winona hampir terjatuh. Terkejut mendengar kata-kata Re.
“Serius lo?”
“Serius gue. Mau, gak?”
Re berdiri, menghampiri Winona. Menyandarkan lengannya di sandaran kursi, nyaris menyentuh bahu Winona.
Jantung Winona berdebar tidak karuan. Dia tidak berani membalikkan badan.
“Lo sengaja milih hari ini supaya gue gak bisa nolak, kan?”
“Cerewet! Mau gak?”
Winona menengadah, matanya bertatapan langsung dengan mata Re.
“Mau.”
“Yesss!”
Re memeluk Winona, dari balik sandaran kursi.
“Re. Gue. Gak. Bisa. Napas. Bego!”
“Waaah. Sorii…soriii.”
Re tertawa lepas. Winona tersenyum lega.
Rumah Re. Desember 1998.
Badan Winona gemetar.
Di depannya duduk orang tua Re.
Mereka menunggu Re pulang.
Di atas meja tergeletak tiga buah spuit bekas pakai, sendok yang melengkung tidak wajar dan beberapa helai kertas kecil lusuh, penuh guratan bekas lipatan.
Inikah alasan perubahan drastis dalam diri Re belakangan ini? Inikah sebab dari puluhan alpa yang tertera di absensi Re? Inikan alasan Re sering tertidur di kelas? Tidak lagi bisa diajak bicara tanpa berakhir dengan pertengkaran?
Re, entah sejak kapan, menggunakan putau.
Winona masih gemetar. Di kepalanya berjajar banyak sekali pertanyaan.
Rumah Re. Desember 1998.
Re memarkir motornya di garasi.
Kemudian membuka pintu ruang tamu.
Dia terkejut melihat kedua orang tuanya dan Winona sedang duduk berhadapan.
Dia terkesiap melihat barang-barang miliknya yang selama ini tersimpan di laci lemari kini tersusun berderet di atas meja.
Re menutupi kepanikannya dengan membuang muka. Langsung masuk ke kamar. Tanpa menyapa.
“RE!”
Ayah Re meradang.
Diraihnya gagang pintu kamar Re. Terkunci. Kalap, ayah Re membabibuta menggedor pintu.
Pintu terbuka.
“Re, papa, mama, mau bicara.”
“Enggak selama Wino masih di sini.”
“Jangan membantah, Re!”
Ibu Re menyusul masuk ke kamar.
Winona berdiri, memakai sepatunya, lalu pergi.
“Winona gak perlu tau tentang ini!”
Kata yang terakhir terdengar dari Re sebelum Winona menutup pintu rumah.
Ruang Guru. Januari 1999.
“Kamu tau masalahnya Re, Wino?”
Bu Tya, wali kelas Re, bertanya lembut.
Winona mengangguk.
“Bisa bantu kami untuk menyelesaikan masalah Re?”
Lagi, Winona mengangguk.
“Kamu aneh, Wino. Untuk apa kamu jadi pacar pecandu narkoba? Kalau gak hati-hati, kamu bisa kebawa!”
Bu Sulis, guru BP, mendadak ikut bicara.
Winona diam. Menunduk. Menggigit bibirnya kuat-kuat.
Bilik di balik warung nasi. Depan SMU 1001. Januari 1999.
Re bernapas lega. Akhirnya dia bisa lepas dari pengawasan Winona.
Dia membagikan bungkusan kecil berisi putau kepada teman-temannya.
Mereka duduk membentuk lingkaran. Berdesakan di antara tumpukan kardus dan botol-botol air mineral.
Baru saja Re meraih spuit, setelah ia mengikatkan sabuk di lengan kiri.
Pintu di depannya tiba-tiba terbuka lebar. Dia dan beberapa temannya sontak mendongak.
Winona.
Re terkejut.
Mata Winona menghunjam langsung ke matanya. Tatapan Winona dingin.
Tanpa berpikir, Re melempar spuit ke lantai.
Berdiri, setengah berlari. Menghampiri Winona yang sudah membalikkan badan.
Susah payah Re melepas ikatan sabuk di lengannya, sambil mengejar Winona.
“No, tunggu!”
Re meraih lengan Winona.
“Lepasin, Re!”
Re mencoba merengkuh Winona.
Winona mendorongnya pelan.
“Lepasin tangan gue, Re. Gue harus cabut. Anak-anak sudah nunggu.”
Winona menggedikkan dagu ke arah Damar, Nararya dan teman-temannya yang lain, di seberang jalan.
Mereka nanar mengawasi Winona.
Re menghela napas. Menyerah. Dia tidak perlu pandangan sebelah mata dari teman-teman Winona.
Perlahan, Re melepaskan Winona.
Winona menyebrangi jalan.
“Maafin gue, No.” Bisik Re, lirih.
Hatinya patah melihat Winona yang mengerjapkan mata berkali-kali, menyembunyikan air mata.
Re tahu, Winona masih berusaha melindungi Re dari vonis sahabat-sahabat Winona.
Apa bagusnya punya pacar seorang pecandu narkoba?
“Iya, apa bagusnya?” Re menggumam sendiri.
Menatap punggung Winona yang menjauh. Tidak sekalipun menoleh ke arahnya.
14 Februari 1999. Valentine’s Day.
“Happy Valentine’s Day, No.”
Re menyodorkan seikat mawar merah dan sebuah kotak beludru hitam.
Sesaat setelah Winona menutup pintu mobil.
Winona membuka kotak itu, cincin polos, berwarna putih.
Re menyelipkan cincin itu di jari manis Winona.
“Dipakai terus ya, No. Nih liat nih, gue juga pakai.”
Re mengibas-ngibaskan jarinya di depan Winona.
“Thank you, Re.”
Winona mengecup bibir Re.
“Kita jalan, ya? Jemput temen gue dulu. Ga apa, kan?”
“Ga apa, Re.”
Mereka pergi. Makan malam di sebuah kafe. Berdua.
Teman-teman yang tadi dijemput oleh Re tidak ikut. Mereka turun di pinggir jalan di kota tua.
Ternyata, sepulang dari kafe, Re menjemput mereka lagi.
Winona tidak tenang. Dia merasa ada yang janggal.
Mobil Re memasuki pelataran parkir restoran cepat saji di pusat kota.
Sudah pukul satu dini hari.
“Tunggu sebentar ya, No. Anak-anak mau beli burger. Gue juga mau ke kamar mandi.”
“Okay”
Lima menit, limabelas menit.
Winona sudah bosan mengutak-atik radio.
Sekarang dia memainkan kelopak-kelopak bunga mawar di tangannya.
Dia gelisah.
Setengah jam.
Winona tersentak, pintu mobil mendadak terbuka.
Re, teman-temannya, bersama dua orang laki-laki berjaket hitam dan cokelat.
Winona tidak tahu siapa mereka.
“Siapa ini?”
Salah satu dari laki-laki berjaket itu bertanya kasar.
“Dia ga ada hubungannya, Pak! Bawa saya aja. Bawa mobil saya!”
Winona bingung.
Re menarik tangan Winona, sedikit menjauh dari kerumunan.
“No, lo telepon bokap gue. Ceritain kalau gue kegep polisi. Gue tadi pakau di kamar mandi.”
Air mata Winona merebak.
“Sssshht…jangan nangis No. Jangan nangis.” bisik Re, lembut.
Menyeka air mata.
Kemudian menyelipkan telepon genggam ke tangan Winona.
Memeluknya singkat. “Maafin gue ya, No. Gue nyusahin.”
Re, teman-temannya dan kedua polisi memasuki mobil.
Sontak tersadar, winona menggedor kaca mobil yang belum sepenuhnya melaju.
Kaca mobil terbuka. Winona melempar kuat-kuat cincin yang tadi diselipkan Re di jari manisnya.
Re menatap Winona, sendu.
Kini mobil benar-benar melaju. Meninggalkan Winona yang masih menggenggam seikat bunga mawar.
Menangis terbata, Winona menelepon orang tua Re.
Setelahnya, Winona menekan digit telepon rumah sahabatnya, Nararya.
Berharap Nararya yang mengangkat.
Winona sudah tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.
Kamar Re. Maret 1999.
Hari ini hari ketiga Re mengikuti terapi seorang dokter yang namanya sudah terkenal.
Dia menjamin Re bisa lepas dari adiksinya terhadap putau.
Hari ini Winona duduk di kursi yang bisa berputar, di kamar Re.
Menatap Re yang sedang meringkuk di tempat tidur.
Menggigil kesakitan.
Winona beranjak, berbaring di sisi Re.
Lengannya merengkuh punggung Re.
“Re, nanti gue jadi istri lo aja ya, Re. Gue pingin ada di samping lo setiap elo sakit, Re.”
Bisiknya.
Re membuka mata, membalikkan badan, menatap mata Winona.
“Serius lo? Jadi istri gue?” Re berbisik, parau.
Winona mengangguk.
“Janji, No?”
“Janji, Re!”
“Makasih ya, No. Gue seneng denger lo ngomong gitu.”
Sesaat kemudian Re tertidur.
Jemarinya terasa nyaman dalam genggaman tangan Winona.
Hatinya terasa hangat dalam dekapan janji Winona.
Rumah Winona. Awal Mei 1999.
Re dan Winona duduk beralas karpet di ruang TV.
“Re, bokap serius ternyata.”
Re menoleh.
“Serius apanya?”
“Gue harus kuliah di luar kota. Bulan depan gue berangkat.”
Re mematikan TV. Menatap Winona dalam-dalam.
“Kita jalan terus kan, No?”
“Iya. Tapi kita jadi jarak jauh gitu, kan?”
“Ada telepon, toh?”
” Iya, sih. Tapi tetep aja ga ada elo, Re.”
Mereka sama-sama terdiam
Re menepuk punggung tangan Winona yang dari tadi digenggamnya.
Mencoba menenangkan Winona. Padahal dia sendiri merasa tidak karuan.
Re tidak tahu, Winona ingin sekali mendengar Re berkata, jangan pergi, tetaplah di sini.
Kamar Re. 28 Juni 1999.
Re duduk di tempat tidurnya. Menatap kursi yang biasa diduduki Winona setiap dia di sana.
Besok Winona berangkat.
Kemarin barang-barang Winona sudah menumpuk rapih di bagasi mobil, hendak dikirim terlebih dulu.
Mulai besok, sudah tidak ada lagi Winona.
Re tidak pernah mengatakan ini pada Winona. Gengsi Re terlalu tinggi.
Re sangat menyayangi Winona.
Dia ingin Winona ada di sepanjang harinya.
Dia ingin mendengar ocehan Winona setiap hari, setiap jam, setiap detik kalau bisa.
Sungguh dia tidak mau Winona pergi.
Tapi mulutnya terkunci.
Ini demi masa depan Winona dan dia yakin, Winona pasti kembali. Winona sudah berjanji, kelak akan mendampinginya sebagai istri.
Tapi sungguh dia tidak mau Winona pergi.
Re mendadak kalut.
Dia berdiri menggapai celah kusen jendela kamarnya.
Meraih spuit yang sengaja dia sembunyikan di sana.
Satu dosis cukuplah.
Tak sampai semenit, raungan sepeda motor Re memecah sepi.
Kamar Winona. 28 Juni 1999.
Mata Winona menyapu penjuru kamar yang isinya sudah jauh berkurang.
Pandangannya terhenti pada selembar tiket kereta api cepat yang tergeletak di atas nakas tempat tidurnya.
Dia tidak lagi bisa berpikir.
Sudah terlalu lelah, terlalu cemas, terlalu sedih.
Besok dia akan pergi.
Winona melirik jam dinding. Sudah pukul sebelas malam.
Dia meraih gagang telepon.
Sampai nada dering kesepuluh, telepon di rumah Re tidak ada yang mengangkat.
Stasiun. Peron 3. 29 Juni 1999
Winona memeluk ibunya, memeluk ibu Re yang ikut mengantar. Lalu masuk ke dalam gerbong kereta. Disusul Re.
Pagi ini, Winona irit bicara. Terlalu banyak hal berkecamuk di kepalanya.
Terlebih setelah Winona melihat bekas suntikan putau di lipatan bagian dalam lengan kiri Re, tepat di jalur nadi. Kulit Re yang putih membuatnya semakin jelas terlihat.
“Ah, Re pakau lagi.” Bisik Winona dalam hati.
Pengeras suara stasiun menggemakan pengumuman, memaksa Winona menyimpan kecemasannya dalam-dalam. Kereta sebentar lagi berangkat.
“Hati-hati ya, No.”
Re memeluk Winona.
“Gue sayang elo. Selalu, No” Bisiknya sebelum dia turun dari gerbong.
Petugas Stasiun sudah menyingkirkan tangga penghubung.
Winona bersandar di pintu kereta yang belum tertutup.
Menatap Re dalam-dalam.
Re menatapnya lembut, sedikit tersenyum.
Winona mengerling ke jari manis tangan kirinya. Sinar matahari berpantulan di sana, di permukaan cincin dari Re, yang pernah dilemparkan Winona.
Mendadak kepala winona dibanjiri kenangan bersama Re.
Mengingat pelukan-pelukan Re. Mengingat saat dia sakit dan tidak masuk sekolah, Re datang ke rumah. Menjaga dia. Membiarkan dia tidur di pangkuannya. Mengingat saat mereka pulang dari sekolah, hujan-hujanan, tertawa di sepanjang jalan. Mengingat ciuman di pipi. Mengingat saat Re mencuri ciuman pertama di bibirnya, yang langsung mereka ulangi, lagi dan lagi.
Mengingat saat Re yang mencoba jaket racing yang baru dibeli, kemudian pura-pura mewawancarainya, “Bagaimana kesan-kesan anda menjadi istri pembalap?”
Winona mengalihkan pandangannya dari cincin, kembali menatap mata Re. Re tidak lagi tersenyum.
“Ayo Winona, pergi atau enggak. Pergi atau enggak.” Lagi-lagi pertanyaan itu memenuhi kepalanya.
Dalam hati, Winona tau, ini bukan masalah pergi atau tidak. Ini masalah berani atau tidak dia mengambil keputusan untuk ada atau tidaknya Re di masa depan.
Sepersekian detik menjelang pintu kereta tertutup, Winona mengambil keputusan. Dengan mata terpejam, dia melompat turun dari kereta.
Re spontan merentangkan lengannya, menangkap Winona.
Kejadian itu terlalu cepat. Untuk terkejut pun, Re tidak sempat.
Ibu Winona dan ibu Re berteriak kompak, bersama dengan beberapa orang lain di sekitar mereka.
Winona tersenyum lebar.
“Gak apa-apa, Ma. Wino gak apa-apa. Nanti Wino telepon Papa, Wino jelasin semua. Mama jangan marah dulu, ya.”
Berhamburan kata-kata Winona, tanpa jeda. Dia menarik lengan Re, menjauh dari ibu-ibu mereka.
“No, udah gila ya, lo?!”
Re berteriak, matanya bersinar-sinar bahagia.
“Gue gak tega liat muka elo, Re. Melas banget! Mana bisa gue pergi kalau mukalo melas gitu? Lagian, mana bisa elo jauh dari gue?”
Winona tidak bisa berhenti tersenyum.
“Bego lo, No!”
Kali ini Re tertawa.
Dia sebenarnya masih tidak percaya apa yang barusan terjadi.
Tapi untuk saat ini dia tidak perduli.
Re memeluk Winona erat-erat. Menghirup wangi rambutnya lekat-lekat.
Re lebih dari bahagia. Winona memilihnya. Winona akan selalu ada.
♛♛♛♛♛
Images of broken light, which
Dance before me like a million eyes,
They call me on and on across the universe.
Thoughts meander like a
Restless wind inside a letter box
They tumble blindly as they make their way across the universe.
“Gimana kalau waktu itu elo gak lompat dari kereta ya, No?”
Re bertanya sambil mempermainkan rambut Winona yang terurai menyentuh pinggang. Acak-acakan.
Semua jepit di kepalanya sudah terlepas.
“Kalau gue gak lompat? Sepertinya gue gak akan di sini, Re. Bahkan, besar kemungkinan, kita gak lanjut pacaran sampai sepuluh tahun.”
“Kalau gue gak lompat, gak akan ada hari ini ya, Re?”
“Bisa jadi! Tapi siapa tahu, meskipun elo gak lompat, kita tetap menikah hari ini? Siapa tahu, lompat atau gak lompat, kita sudah jodoh sampai mati.”
“Gue gak ngerti elo ngomong apa, Re.”
Winona yang sedang menggantung buket bunga di tepi jendela memicingkan matanya. Re tersenyum menghampirinya.
“Gue sayang elo, No.”
“Gue sayang elo, Re.”
Re membelai pipi Winona.
“Selamanya?”
“Selamanya!”
“Selalu, No?”
“Cerewet lo!”
Winona menengadah, mengalungkan lengannya ke leher Re.
Bibirnya perlahan mengulum bibir Re.
Dalam sekali hentak, tangan Re menutup tirai jendela.
Sounds of laughter, shades of life
Are ringing through my opened ears
Inciting and inviting me.
Limitless undying love, which
Shines around me like a million suns,
It calls me on and on across the universe
♛♛♛♛♛
Tempat Pemakaman Umum Damai. Agustus 2012.
Sudah dua jam Winona duduk terpekur di hadapan sebuah pusara.
Seikat Calla Lily masih berada dalam genggamannya.
Matanya nanar menatap batu nisan yang bertuliskan:
Re
Lahir: 15 September 1981
Wafat: 29 September 2007
Tangis Winona tiba-tiba pecah.
Kenangan bersama Re yang dia putar ulang bersama dengan dunia paralel yang dia rangkai sendiri selama dua jam di kepalanya memburam. Hilang.
Mengembalikan dia pada kenyataan.
Pada dunia di mana tidak pernah ada pernikahan antara Re dan Winona.
Dunia di mana Winona tidak bisa bersama Re karena Winona jatuh cinta dengan seseorang di kota tempat dia kuliah.
Dunia di mana Re membanting undangan pernikahan Winona, di meja ruang tamu, di hadapan Winona, malam menjelang hari pernikahan.
Dunia di mana Winona yang masih dalam balutan kebaya pengantin, menghampiri Re yang datang sebagai tamu, mencium pipi dan lirih membisikkan kata maaf di telinga Re. Tanpa Winona tahu, itu adalah kali terakhir mereka bersentuhan.
Dunia di mana Re akhirnya bertemu dengan seorang perempuan yang entah kebetulan atau tidak, bernama Wynona. Re menikahinya.
Dunia di mana Re akhirnya menyerah kalah setelah tergeletak dalam keadaan koma selama dua hari.
Dunia nyata.
Dunia di mana Winona tidak berani melompat keluar dari kereta.
Jai Guru Deva. Om
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
Nothing’s gonna change my world
Kepada Re. Yang tak lekang di lelipit hati.
[Lyrics: Across The Universe – The Beatles]